Pengamat ekonomi, David Sumual mengatakan, industri manufaktur yang kelimpungan dipicu buruknya infrastruktur sehingga perceived risk di industri ini meningkat. Perbankan pun enggan mengucurkan kreditnya. Padahal, sejak krisis 1998, porsi manufaktur terhadap perekonomian Indonesia sangat besar.
Menurutnya, manufaktur mengalami penurunan (declining) terus menerus dalam 10 tahun terakhir akibat banyaknya hambatan dari sisi infrasturktur. “Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya pemihakan pemerintah terhadap sektor ini sangat besar,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (26/1).
Sebelumnya, Menteri Perindustrian MS Hidayat menargetkan industri manufaktur tahun 2010 bisa tumbuh 4,6% atau lebih tinggi dari 2009 yang diperkirakan tumbuh 1,84%. Hal ini didukung seluruh subsektor industri yang mulai tumbuh positif.
Hidayat mengatakan pertumbuhan terbesar subsektor industri masih disumbang industri makanan, minuman dan tembakau yang dipoyeksikan tumbuh 6,64%. "Saya mohon dukungan semua, karena target itu memang sangat optimistis dengan pertaruhan diri saya sendiri," katanya dalam Workshop Business Strategy di Jakarta, Selasa (26/1).
Proyeksi yang sangat optimistis, lanjut Hidayat terutama bergantung pada percepatan di sektor infrastruktur, energi dan kelistrikan. “Bahkan, saya menargetkan pertumbuhan manufaktur bisa mencapai 7% pada 2013,” timpalnya.
David Sumual kembali mengatakan, target pertumbuhan 4,6% menjadi realistis jika pemerintah memberikan insentif dan kemudahan dalam berusaha. Sejak krisis 1998, industri manufaktur terhalang sektor infrastruktur. “Spending untuk sektor infrastruktur semakin kecil akibat pendanaannya yang memang kurang,” ucapnya.
Otomatis, hambatan infrastruktur akan mengganggu daya saing industri manufaktur dalam negeri dibandingkan negara lain yang juga melakukan pengembangan sektor ini. “Padahal, produk manufaktur selain untuk kebutuhan dalam negeri juga untuk diekspor,” tukasnya.
Di sisi lain, daya serap sektor ini untuk tenaga kerja sangat besar. Memang, dari sisi daya serap tenaga kerja masih didominasi sektor pertanian. Tapi, satu industri manufaktur bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dibandingkan sektor jasa, keuangan dan sektor lainnya.
Selain hambatan infrastruktur, sektor perbankan pun ‘pelit’ mengucurkan kredit ke industri manufaktur. Perbankan selalu kembali pada sisi risiko. Jika bank melihat industri lemah daya saingnya dibandingkan industri lain secara otomatis, perceived risk manufaktur akan meningkat. “Ini berpangkal pada infrastruktur,” timpalnya.
David hanya melihat beberapa industri saja yang bersaing. Selebihnya kurang menarik dibandingkan sektor plantation, komunikasi, dan transportasi. “Kalau dilihat risiko, otomatis bank akan menahan diri. Bahkan bukan hanya perbankan, termasuk juga investor,” ungkapnya.
Kucuran kredit untuk sektor industri hingga November 2009 hanya mencapai Rp243 triliun atau hanya 17,39% dari total outstanding kredit Rp1.397 triliun. Sementar kucuran kredit untuk sektor perdagangan mencapai Rp290,4 triliun atau 20,7% dari total kredit.
Padahal, di tahun-tahun sebelum krisis, kucuran kredit untuk sektor manufaktur mencapai di atas 20%. “Pada 2.000 kredit untuk manufaktur mencapai 39%,” pungkasnya
Sumber :http://www.inilah.com/news/read/ekonomi/2010/01/27/307351/industri-manufaktur-kelimpungan/
Senin, 05 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar