Pengendalian Kualitas
Menururt Feigenbaum (1993), pengendalian kualitas memegang peranan yang sangat penting karena menentukan mutu barang atas produk yang dihasilkan oleh perusahan tersebut. Bila produk barang atau jasa yang dihasilkan tidak memenuhi standar yang berlaku, tentu tidak akan disukai oleh konsumen. Pada umumnya pengendalian kualitas terdiri dari empat langkah prosedur kendali mutu, yaitu langkah pertama adalah menentukan standar, standar mutu ditetapkan sebagai pedoman untuk menciptakan suatu produk yang berkualitas sesuai standar mutu. Standar mutu yang biasa ditetapkan ialah standar mutu biaya, standar mutu prestasi kerja, standar mutu keamanan, dan standar mutu keandalan. Langkah kedua menilai kesesuaian, membandingkan kesesuaian dari produk yang dibuat dengan standar yang telah ditentukan. Langkah ketiga bertindak bila perlu, mengoreksi masalah dan penyebab melalui faktor-faktor yang mencangkup pemasaran, perancangan, rekayasa produksi, dan pemeliharaan yang mempengaruhi kepuasan pemakai. Langkah yang terakhir adalah merencanakan perbaikan, merencanakan suatu upaya yang kontinyu untuk memperbaiki standar-standar biaya, prestasi, keamanan, dan keandalan.
1. Pengertian Pengendalian kualitas
Pengendalian kualitas memiliki dua kata, yaitu pengendalian dan kualitas. Menurut Feigenbaum (1993), pengendalian ialah suatu proses pendelegasian tanggung jawab dan wewenang untuk suatu aktivitas manajemen dalam menopang usaha-usaha atau sarana dalam rangka menjamin hasil-hasil yang memuaskan. Pengertian kualitas juga banyak diberikan oleh orang yang ahli dalam bidang manajemen mutu terpadu, diantaranya:
a. Menurut Crosby B. Philip (1979), kualitas ialah sesuai dengan yang disyaratkan. Suatu produk memiliki kualitas yang sesuai apabila telah ditentukan standar kualitasnya. Standar kualitas meliputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi. Crosby mengemukakan 14 langkah untuk perbaikan kualitas, yaitu komitmen manajemen, membentuk tim kualitas standar manajemen, mengidentifikasi sumber terjadinya masalah saat ini dan masalah potensial, biaya evaluasi kualitas, meningkatkan kesadaran akan kualitas, melakukan tindakan koreksi, pelatihan sebagai supervisi, menyusun sasaran atau tujuan, kesalahan menyebabkan adanya perubahan, mengakui atau menerima para karyawan yang berpartisipasi, membentuk dewan kualitas, mengulangi setiap tahap tersebut untuk menjelaskan bahwa perbaikan kualitas ialah proses yang tidak pernah berakhir.
b. Menurut Deming (1982), kualitas ialah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Perusahaan harus benar-benar dapat memahami apa yang dibutuhkan konsumen atas suatu produk yang akan dihasilkan
c. Menurut A. V. Feigenbaum (1983), kualitas ialah sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan berdasarkan pengalaman aktual terhadap suatu produk atau jasa yang diukur berdasarkan persyaratan dari pelanggan tersebut, baik dinyatakan atau tidak dinyatakan, disadari atau tidak disadari, dimana kualitas tersebut telah menjadi sasaran dalam pasar yang penuh persaingan.
d. Menurut Scherkenbach (1991), kualitas ialah suatu produk yang ditentukan oleh pelanggan, dimana pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut.
e. Menurut Elliot (1993), kualitas ialah sesuatu yang berbeda untuk orang yang berbeda dan tergantung pada waktu dan tempat, dikatakan sesuai dengan tujuan.
f. Menurut Juran M. Joseph (1993), kualitas ialah kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Kecocokan penggunaan tersebut didasarkan pada 5 ciri-ciri utama adalah teknologi (kekuatan atau daya tahan), psikologis (cita rasa atau status), waktu (keandalan), kontraktual (adanya jaminan), dan etika (sopan santun, ramah atau jujur). Sedangkan aspek utama pada kecocokan penggunaan produk, yaitu ciri-ciri produk yang memenuhi permintaan pelanggan sangat mengharapkan produk yang berkualitas tinggi, dimana produk tersebut harus istimewa sehingga berbeda dari produk pesaing dan dapat memenuhi harapan atau tuntutan akan kepuasan pelanggan. Dan bebas dari kelemahan adalah suatu produk dikatakan berkualitas tinggi apabila produk tersebut tidak memiliki kelemahan (cacat) sehingga sangat menguntungkan perusahaan karena perusahan dapat mengurangi tingkat kesalahan, pengerjaan kembali, pemborosan, ketidakpuasan pelanggan, dan waktu pengiriman produk ke pasar.
g. Menurut Goetch dan Garvin (1995), kualitas ialah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, manusia, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
h. Menurut Gasperz Vincent (1998), determinologi kualitas ialah konsistensi peningkatan atau perbaikan dan penurunan variasi karakteristik dari suatu produk, baik barang maupun jasa yang dihasilkan agar dapat memenuhi kebutuhan yang telah dispesifikasikan, guna meningkatkan kepuasan pelanggan internal maupun eksternal.
i. Menurut Assourri Sofjan (1999), kualitas ialah faktor-faktor yang terdapat dalam suatu barang atau hasil tersebut sesuai dengan tujuan untuk apa barang atau hasil itu dimasudkan atau dibutuhkan.
Setelah mengetahui pengertian dari pengendalian dan kualitas, maka pengendalian kualitas pun dapat diartikan secara menyeluruh, ada 6 menurut beberapa ahli manajemen adalah sebagai berikut:
a. Menurut A. V. Feigenbaum (1983)
Pengendalian kualitas ialah tindakan yang perlu dilakukan untuk menjamin tercapainya tujuan dengan jalan mengadakan pemeriksaan yang dimulai dari bahan mentah sampai bahan jadi sehingga sesuai dengan yang diinginkan.
b. Menurut Kaoru Ishikawa (1985)
Pengendalian kualitas ialah keseluruhan cara yang digunakan untuk menetapkan dan mencapai standar mutu atau dapat dikatakan bahwa pengawasan mutu adalah suatu sistem yang terdiri atas pengujian, analisis, dan tindakan yang harus diambil yang berguna untuk mengendalikan mutu suatu produk sehinggga mencapai standar yang diinginkan.
c. Menurut Assourri Sofjan (1993)
Pengendalian kualitas ialah suatu tindakan atau kegiatan untuk memastikan apakah kebijaksanaan dalam hal mutu dapat tercermin pada hasil akhir. Perkataan lain pengawasan mutu ialah usaha untuk mempertahankan mutu dari barang yang dihasilkan agar sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan perusahaan.
d. Menurut Gasperz Vincent (1998)
Pengendalian kualitas ialah aktivitas teknik dan manajemen dari mana harus mengukur karakteristik kualitas barang atau jasa yang dihasilkan, kemudian membandingkan hasil pengukuran dengan spesifikasi output yang diinginkan pelanggan serta mengambil tindakan perbaikan yang tepat apabila ditemukan perbedaan antara performansi aktual dan standar.
2. Faktor-Faktor yang Menentukan Kualitas
Menurut Feigenbaum (1983), ada sembilan faktor yang menentukan kualitas sebagai berikut:
a. Pasar, jumlah produk baru yang ditawarkan dalam pasar selalu bertambah. Banyak produk tersebut yang merupakan hasil perkembangan teknologi baru yang melibatkan tidak hanya produk itu sendiri, tetapi material, dan metode kerja yang digunakan dalam proses pembuatan.
b. Uang, kebutuhan akan otomatis dan mekanisme yang lebih baik dan modern diperlukan untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat.
c. Manajemen, tanggung jawab kualitas suatu produk yang telah diserahkan kepada beberapa kelompok khusus. Mandor bertanggung jawab atas kulitas produk.
d. Manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau disebut juga dengan ilmu pengetahuan teknologi yang sangat pesat menyebabkan timbulnya kebutuhan atau permintaan yang besar akan tenaga, yang berkualitas, memiliki pengetahuan, dan keterampilan yang khusus.
e. Motivasi, meningkatnya tingkat kesulitan untuk memenuhi kualitas suatu produk yang telah memperbesar makna kontribusi setiap karyawan terhadap kualitas yang dihasilkan.
f. Bahan Baku, untuk memenuhi standar yang diinginkan, pemilihan, dan penentuan material yang dipakai tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan
g. Mesin, keinginan perusahaan untuk mengurangi biaya serta mendapatkan volume produksi guna memuaskan keinginan konsumen menyebabkan dipakainya mesin-mesin dan peralatan yang lebih baik dan modern, sehingga dengan adanya perubahan atau pergantian pada mesin ataupun peralatan akan mempengaruhi kualitas produk pada perusahaan tersebut.
h. Metode informasi modern, metode kerja yang digunakan dalam memproduksi suatu produk mempunyai pengaruh yang besar terhadap kualitas produk tersebut. Apabila metode kerja yang dijalankan baik, maka produk yang dihasilkan baik pula.
i. Persyaratan proses produksi, kemajuan yang pesat dalam desain teknik membutuhkan pengontrolan yang jauh lebih ketat terhadap proses menufaktur telah menyebabkan hal-hal kecil pun menjadi cukup penting untuk diperhatikan.
Kualitas baik produk maupun jasa secara langsung dipengaruhi sembilan bidang dasar (9 M) dalam setiap bidang industri sekarang ini bergantung pada sejumlah besar kondisi yang membebani produksi melalui suatu cara yang tidak pernah dialami dalam periode sebelumnya. Bila dikaji lebih dalam lagi keseluruhan faktor diatas bisa dibagi kedalam 2 faktor besar, yaitu faktor utama yang terdiri bahan baku, peralatan dan teknologi, sarana fisik, manusia yang mengerjakannya. Dan faktor yang kedua faktor pendukung yang terdiri dari persaingan pasar, tujuan organisasi, pengujian produk dan desain produk, proses produksi, kualitas input, perawatan peralatan, standar kualitas, umpan balik dari pelanggan
Sumber : Feigenbaum (1993)
Rabu, 31 Maret 2010
PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manfacturing
PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manfacturing
1. Sejarah Perusahaan
Persetujuan usaha patungan (Joint Venture) terjadi pada tanggal 18 Januari 1973 antara PT. Krama Yudha (KY), Mitsubishi Coorporation (MC), dan Mitsubishi Motors and Manufacturing yang kemudian pada tanggal 19 Mei 1973 didirikan PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manfacturing yang mempunyai modal dasar sebesar $ 42.866.250 dan modal disetor sebesar $ 42.866.250.
PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing (MKM) bertempat di Jakarta dan didirikan berdasarkan Akta Notaris Eliza Pondang tanggal 3 Agustus 1973 No. 17. Akte pendirian beserta perubahan-perubahannya telah disetujui oleh Menteri Kehakiman dengan surat keputusan No. Y.A.5/362/19 tanggal 11 Juni 1981 dan dimuat dalam tambahan berita Negara No. 13 tanggal 26 Desember 1981, tambahan No. 1029/1981.
Adapun PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing ini merupakan perusahaan dengan penanaman modal asing (PMA) dalam hal ini bekerja sama dengan Jepang, pemegang sahamnya terdiri dari:
1. PT. Krama Yudha, Indonesia sebesar 18,22 %.
2. PT. Krama Yudha Tiga Berlian Motors, Indonesia sebesar 17,22 %.
3. Mitsubishi Coorporation, Jepang sebesar 32,28 %.
4. Mitsubishi Fuso Truck and Bus Coorporation, Jepang sebesar 32,28 %.
Tahap-tahap pembangunan diawali dengan pembangunan mesin pabrik dimulai pada tanggal 14 Januari 1974 dan selesai dalam waktu empat bulan yang dilanjutkan dengan pemasukkan mesin-mesin dan peralatan dalam bulan Mei. Produksi percobaan dimulai pada pertengahan bulan Oktober 1974 yang berlangsung untuk beberapa bulan, sedangkan produksi secara komersial dimulai pada tanggal 6 Januari 1975.
PT. Colt Engine and Manufacturing (CEM) didirikan pada bulan Desember 1982, dimana perusahaan ini merupakan usaha patungan juga antara Indonesia dan Jepang yaitu PT. Mitsubishi Coorporation dan Mitsubishi Motors Coorporation. Pada bulan Maret 1983, PT. Colt Engine and Manufacturing (CEM) ini mulai berproduksi dan produksi secara komersial dimulai tahun 1985.
Pada tanggal 1 Januari 1988, PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and manufacturing melakukan merger (bergabung) dengan PT. Colt Engine and Manufacturing (CEM) yang saat ini dikenal dengan MKM I (Stamping Plant) dan MKM II (Engine Plant). Alas an dilakukan merger antara lain untuk efisiensi pada saat merger perbandingan saham antara pihak Indonesia dan Jepang adalah sebesar 35,4 % dan 64,6 %.
MKM I (Stamping Plant) memiliki luas tanah sebesar 63.400 m2 dengan luas bangunan sebesar 20.750 m2 yang aktifitas setiap harinya yaitu memproduksi komponen badan kendaraan, sedangkan MKM II (Engine Plant) memiliki luas tanah sebesar 86.460 m2 dengan luas bangunan sebesar 13.608 m2 yang aktifitas setiap harinya yaitu memproduksi komponen mesin kendaraan. Sampai pada tahun 1997, PT. MKM sudah dapat memproduksi komponen mesin seperti Crank Shaft, Connecting Rod, Cylinder Head, dan Cam Shaft sendiri dan pada tahun itu juga mulai dibuat komponen mesin yang lain yaitu Transmission Case dan Extension Housing untuk jenis kendaraan Colt L300 dan Kuda.
Pada tahun 1998 dimulai eksport komponen mesin yaitu Cylinder Head, Crank Shaft, dan Connecting Rod ke Jepang (MMC Kyoto). Kemudian tahun 1999 mengeksport komponen body ke Philipina (MMPC), dan pada tahun 2000 ekspor dilakukan untuk transmisi ke Philipina (ATC).
Setiap perusahaan memiliki visi dan misi sehingga keinginan perusahaan tersebut dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Berikut ini adalah visi dan misi PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and manufacturing.
Visi perusahaan:
1. Menjadikan perusahaan yang global dengan memproduksi dan tetap bertahan dalam persaingan yang keras dan muncul di dalam pasar Asia yang pertumbuhannya sangat baik sekali.
2. Mengelola pabrik yang aman dan maju dengan melaksanakan control QCD (Quality, Cost, Delivery) dengan mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan dan menempatkan prioritas utama untuk mendapatkan kepercayaan konsumen.
3. Meningkatkan kepuasan kepada Pemilik Saham, Pemegang Saham, Pemerintah, Direktur, dan seluruh Karyawan.
Misi Perusahaan:
1. Penurunan biaya.
2. Peningkatan kualitas.
3. Pengawasan terhadap jadwal pengiriman.
4. Mengadakan persiapan yang lancar dan baik untuk produk modal baru.
5. Peningkatan dalam bidang manajemen, keselamatan, dan lingkungan.
2. Kegiatan Perusahaan
PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing merupakan perusahaan yang memproduksi komponen-komponen untuk kendaraan, baik itu komponen untuk badan kendaraan maupun komponen untuk mesin kendaraan. Oleh karena itu, dalam kegiatannya terbagi menjadi dua bagian yang masing-masing menghasilkan produk yang berlainan. Adapun bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Stamping Factory
Pabrik ini memproduksi komponen-komponen untuk badan dan rangka kendaraan, dimana kegiatannya adalah mengelola lempengan logam dari pemotongan, pengepresan, sampai perakitan untuk menghasilkan kendaraan yang berkualitas tinggi. Adapun komponen yang dihasilkan antara lain:
1) Body kendaraan. 3) Steering. 5) Exhaust Pipe
2) Chassis. 4) Fuel Tank. 6) Muffler.
2. Engine Factory
Pabrik ini memproduksi berbagai macam komponen untuk mesin kendaraan. Selain itu, pabrik ini merakit komponen-komponen mesin baik itu komponen lokal maupun dari luar menjadi satu mesin yang siap pakai dengan kualitas tinggi. Adapun komponen yang dihasilkan antara lain:
1) Cylinder Head. 5) Cam Shaft.
2) Crank Shaft. 6) Transmission Case.
3) Cylinder Back. 7) Extension Housing.
4) Connecting Rod.
PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing memproduksi komponen-komponen tersebut berdasarkan jumlah pesanan yang diterima dari distributor tunggal kendaraan Mitsubishi di Indonesia, yang dipegang oleh PT. Krama Yudha Tiga Berlian (KTB) yang didirikan pada tanggal 27 April 1973.
Produksi yang dihasilkan oleh PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing didistribusikan ke PT. Krama Yudha Ratu Motor (KRM) untuk jenis T120SS, L300, dan truk. PT. KRM didirikan pada tanggal 2 Juni 1973, sedangkan untuk jenis Galant, Lancer, dan Kuda diproduksi di luar negeri dengan anggapan bahwa, di Indonesia banyak sekali perusahaan otomotif yang memproduksi mobil komersial, sehingga pihak Mitsubishi lebih memfokuskan kepada produksi mobil niaga. Ketiga perusahaan tersebut tergabung dalam Krama Yudha Group, yang dalam menjalankan usaha dan kegiatannya saling berkaitan dan saling membantu antara perusahaan satu dengan perusahaan yang lain.
3. Bidang Usaha dan Perkembangan Perusahaan
PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing merupakan perusahaan yang memproduksi komponen-komponen untuk kendaraan, baik itu komponen untuk badan kendaraan maupun untuk mesin kendaraan, oleh karena itu dalam kegiatannya terbagi dalam dua bagian yang masing-masing menghasilkan produk yang berlainan. PT. MKM dalam menjalankan kegiatan produksinya memproduksi komponen-komponen berdasarkan jumlah pesanan yang diterima dari distributor tunggal kendaraan Mitsubishi di Indonesia, yang dipegang oleh PT. Krama Yudha Tiga Berlian (KTB) yang didirikan pada tanggal 27 April 1973. Produksi yang dihasilkan oleh PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing didistribusikan ke PT. Krama Yudha Ratu Motor (KRM) untuk jenis T120SS, L300, dan truk. PT. Krama Yudha Ratu Motor (KRM) didirikan pada tanggal 2 Juni 1973. Ketiga perusahaan tersebut (KTB, MKM, KRM) tergabung dalam Krama Yudha Group yang dalam menjalankan usahanya saling berkaitan dan saling membantu antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain.
Tahap-tahap pengembangan diawali dengan pembangunan mesin pabrik dimulai pada tanggal 14 Januari dan selesai dalam waktu empat bulan yang dilanjutkan dengan pemasukan mesin-mesin dan peralatan pada bulan Mei. Produksi percobaan dimulai pertengahan bulan Oktober 1974 yang berlangsung untuk beberapa bulan sedangkan produksi komersial dimulai pada tanggal 6 Januari 1975. PT. Colt Engine and Manufacturing didirikan pada bulan Desember 1982, yang merupakan usaha patungan antara Indonesia dan Jepang yaitu PT. Mitsubishi Corporation dan Mitsubishi Motors Corporation. PT. Colt Engine and Manufacturing mulai berproduksi secara komersial pada tahun 1985.
Pada tanggal 1 Januari 1988 PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing melakukan merger dengan PT. Colt Engine and Manufacturing yang kemudian disebut PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing.
4. Fasilitas yang Dimiliki Oleh PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing
Fasilitas yang dimilki PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors And Manufacturing adalah sebagai berikut:
1. Fasilitas Pengobatan. 4. Kesejahteraan Dana Pensiun.
a. Karyawan. 5. Sarana Ibadah.
b. Keluarga. 6. Koperasi.
2. Rekreasi. Dan Jaminan Sosial.
Sumber : PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manfacturing
1. Sejarah Perusahaan
Persetujuan usaha patungan (Joint Venture) terjadi pada tanggal 18 Januari 1973 antara PT. Krama Yudha (KY), Mitsubishi Coorporation (MC), dan Mitsubishi Motors and Manufacturing yang kemudian pada tanggal 19 Mei 1973 didirikan PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manfacturing yang mempunyai modal dasar sebesar $ 42.866.250 dan modal disetor sebesar $ 42.866.250.
PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing (MKM) bertempat di Jakarta dan didirikan berdasarkan Akta Notaris Eliza Pondang tanggal 3 Agustus 1973 No. 17. Akte pendirian beserta perubahan-perubahannya telah disetujui oleh Menteri Kehakiman dengan surat keputusan No. Y.A.5/362/19 tanggal 11 Juni 1981 dan dimuat dalam tambahan berita Negara No. 13 tanggal 26 Desember 1981, tambahan No. 1029/1981.
Adapun PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing ini merupakan perusahaan dengan penanaman modal asing (PMA) dalam hal ini bekerja sama dengan Jepang, pemegang sahamnya terdiri dari:
1. PT. Krama Yudha, Indonesia sebesar 18,22 %.
2. PT. Krama Yudha Tiga Berlian Motors, Indonesia sebesar 17,22 %.
3. Mitsubishi Coorporation, Jepang sebesar 32,28 %.
4. Mitsubishi Fuso Truck and Bus Coorporation, Jepang sebesar 32,28 %.
Tahap-tahap pembangunan diawali dengan pembangunan mesin pabrik dimulai pada tanggal 14 Januari 1974 dan selesai dalam waktu empat bulan yang dilanjutkan dengan pemasukkan mesin-mesin dan peralatan dalam bulan Mei. Produksi percobaan dimulai pada pertengahan bulan Oktober 1974 yang berlangsung untuk beberapa bulan, sedangkan produksi secara komersial dimulai pada tanggal 6 Januari 1975.
PT. Colt Engine and Manufacturing (CEM) didirikan pada bulan Desember 1982, dimana perusahaan ini merupakan usaha patungan juga antara Indonesia dan Jepang yaitu PT. Mitsubishi Coorporation dan Mitsubishi Motors Coorporation. Pada bulan Maret 1983, PT. Colt Engine and Manufacturing (CEM) ini mulai berproduksi dan produksi secara komersial dimulai tahun 1985.
Pada tanggal 1 Januari 1988, PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and manufacturing melakukan merger (bergabung) dengan PT. Colt Engine and Manufacturing (CEM) yang saat ini dikenal dengan MKM I (Stamping Plant) dan MKM II (Engine Plant). Alas an dilakukan merger antara lain untuk efisiensi pada saat merger perbandingan saham antara pihak Indonesia dan Jepang adalah sebesar 35,4 % dan 64,6 %.
MKM I (Stamping Plant) memiliki luas tanah sebesar 63.400 m2 dengan luas bangunan sebesar 20.750 m2 yang aktifitas setiap harinya yaitu memproduksi komponen badan kendaraan, sedangkan MKM II (Engine Plant) memiliki luas tanah sebesar 86.460 m2 dengan luas bangunan sebesar 13.608 m2 yang aktifitas setiap harinya yaitu memproduksi komponen mesin kendaraan. Sampai pada tahun 1997, PT. MKM sudah dapat memproduksi komponen mesin seperti Crank Shaft, Connecting Rod, Cylinder Head, dan Cam Shaft sendiri dan pada tahun itu juga mulai dibuat komponen mesin yang lain yaitu Transmission Case dan Extension Housing untuk jenis kendaraan Colt L300 dan Kuda.
Pada tahun 1998 dimulai eksport komponen mesin yaitu Cylinder Head, Crank Shaft, dan Connecting Rod ke Jepang (MMC Kyoto). Kemudian tahun 1999 mengeksport komponen body ke Philipina (MMPC), dan pada tahun 2000 ekspor dilakukan untuk transmisi ke Philipina (ATC).
Setiap perusahaan memiliki visi dan misi sehingga keinginan perusahaan tersebut dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Berikut ini adalah visi dan misi PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and manufacturing.
Visi perusahaan:
1. Menjadikan perusahaan yang global dengan memproduksi dan tetap bertahan dalam persaingan yang keras dan muncul di dalam pasar Asia yang pertumbuhannya sangat baik sekali.
2. Mengelola pabrik yang aman dan maju dengan melaksanakan control QCD (Quality, Cost, Delivery) dengan mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan dan menempatkan prioritas utama untuk mendapatkan kepercayaan konsumen.
3. Meningkatkan kepuasan kepada Pemilik Saham, Pemegang Saham, Pemerintah, Direktur, dan seluruh Karyawan.
Misi Perusahaan:
1. Penurunan biaya.
2. Peningkatan kualitas.
3. Pengawasan terhadap jadwal pengiriman.
4. Mengadakan persiapan yang lancar dan baik untuk produk modal baru.
5. Peningkatan dalam bidang manajemen, keselamatan, dan lingkungan.
2. Kegiatan Perusahaan
PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing merupakan perusahaan yang memproduksi komponen-komponen untuk kendaraan, baik itu komponen untuk badan kendaraan maupun komponen untuk mesin kendaraan. Oleh karena itu, dalam kegiatannya terbagi menjadi dua bagian yang masing-masing menghasilkan produk yang berlainan. Adapun bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Stamping Factory
Pabrik ini memproduksi komponen-komponen untuk badan dan rangka kendaraan, dimana kegiatannya adalah mengelola lempengan logam dari pemotongan, pengepresan, sampai perakitan untuk menghasilkan kendaraan yang berkualitas tinggi. Adapun komponen yang dihasilkan antara lain:
1) Body kendaraan. 3) Steering. 5) Exhaust Pipe
2) Chassis. 4) Fuel Tank. 6) Muffler.
2. Engine Factory
Pabrik ini memproduksi berbagai macam komponen untuk mesin kendaraan. Selain itu, pabrik ini merakit komponen-komponen mesin baik itu komponen lokal maupun dari luar menjadi satu mesin yang siap pakai dengan kualitas tinggi. Adapun komponen yang dihasilkan antara lain:
1) Cylinder Head. 5) Cam Shaft.
2) Crank Shaft. 6) Transmission Case.
3) Cylinder Back. 7) Extension Housing.
4) Connecting Rod.
PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing memproduksi komponen-komponen tersebut berdasarkan jumlah pesanan yang diterima dari distributor tunggal kendaraan Mitsubishi di Indonesia, yang dipegang oleh PT. Krama Yudha Tiga Berlian (KTB) yang didirikan pada tanggal 27 April 1973.
Produksi yang dihasilkan oleh PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing didistribusikan ke PT. Krama Yudha Ratu Motor (KRM) untuk jenis T120SS, L300, dan truk. PT. KRM didirikan pada tanggal 2 Juni 1973, sedangkan untuk jenis Galant, Lancer, dan Kuda diproduksi di luar negeri dengan anggapan bahwa, di Indonesia banyak sekali perusahaan otomotif yang memproduksi mobil komersial, sehingga pihak Mitsubishi lebih memfokuskan kepada produksi mobil niaga. Ketiga perusahaan tersebut tergabung dalam Krama Yudha Group, yang dalam menjalankan usaha dan kegiatannya saling berkaitan dan saling membantu antara perusahaan satu dengan perusahaan yang lain.
3. Bidang Usaha dan Perkembangan Perusahaan
PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing merupakan perusahaan yang memproduksi komponen-komponen untuk kendaraan, baik itu komponen untuk badan kendaraan maupun untuk mesin kendaraan, oleh karena itu dalam kegiatannya terbagi dalam dua bagian yang masing-masing menghasilkan produk yang berlainan. PT. MKM dalam menjalankan kegiatan produksinya memproduksi komponen-komponen berdasarkan jumlah pesanan yang diterima dari distributor tunggal kendaraan Mitsubishi di Indonesia, yang dipegang oleh PT. Krama Yudha Tiga Berlian (KTB) yang didirikan pada tanggal 27 April 1973. Produksi yang dihasilkan oleh PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing didistribusikan ke PT. Krama Yudha Ratu Motor (KRM) untuk jenis T120SS, L300, dan truk. PT. Krama Yudha Ratu Motor (KRM) didirikan pada tanggal 2 Juni 1973. Ketiga perusahaan tersebut (KTB, MKM, KRM) tergabung dalam Krama Yudha Group yang dalam menjalankan usahanya saling berkaitan dan saling membantu antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain.
Tahap-tahap pengembangan diawali dengan pembangunan mesin pabrik dimulai pada tanggal 14 Januari dan selesai dalam waktu empat bulan yang dilanjutkan dengan pemasukan mesin-mesin dan peralatan pada bulan Mei. Produksi percobaan dimulai pertengahan bulan Oktober 1974 yang berlangsung untuk beberapa bulan sedangkan produksi komersial dimulai pada tanggal 6 Januari 1975. PT. Colt Engine and Manufacturing didirikan pada bulan Desember 1982, yang merupakan usaha patungan antara Indonesia dan Jepang yaitu PT. Mitsubishi Corporation dan Mitsubishi Motors Corporation. PT. Colt Engine and Manufacturing mulai berproduksi secara komersial pada tahun 1985.
Pada tanggal 1 Januari 1988 PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing melakukan merger dengan PT. Colt Engine and Manufacturing yang kemudian disebut PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing.
4. Fasilitas yang Dimiliki Oleh PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manufacturing
Fasilitas yang dimilki PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors And Manufacturing adalah sebagai berikut:
1. Fasilitas Pengobatan. 4. Kesejahteraan Dana Pensiun.
a. Karyawan. 5. Sarana Ibadah.
b. Keluarga. 6. Koperasi.
2. Rekreasi. Dan Jaminan Sosial.
Sumber : PT. Mitsubishi Krama Yudha Motors and Manfacturing
Kasus Minamata
KASUS MINAMATA
I. Latar Belakang
Penyakit minamata mendapat namanya dari kota Minamata, Prefektur Kumamoto di Jepang, yang merupakan daerah penyakit ini mewabah mulai tahun 1958. Pada waktu itu terjadi masalah wabah penyakit di kota Mintamana Jepang. Ratusan orang mati akitbat penyakit yang aneh dengan gejala kelumpuhan syaraf. Mengetahui hal tersebut, para ahli kesehatan menemukan masalah yang harus segera diamati dan dicari penyebabnya. Melalui pengamatan yang mendalam tentang gejala penyakit dan kebiasaan orang jepang, termasuk pola makan kemudian diambil suatu hipotesis. Hipotesisnya adalah bahwa penyakit tersebut mirip orang yang keracunan logam berat. Kemudian dari kebudayaan setempat diketahui bahwa orang Jepang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi ikan laut dalam jumlah banyak. Dari hipotesis dan kebiasaan pola makan tesebut kemudian dilakukan eksperimen untuk mengetahui apakah ikan-ikan di Teluk Minamata banyak mengandung logam berat (merkuri). Kemudian di susun teori bahwa penyakit tesebut diakibatkan oleh keracunan logam merkuri yang terkandung pada ikan. Ikan tesebut mengandung merkuri akibat adanya orang atau pabrik yang membuang merkuri ke laut. Penelitian berlanjut dan akihirnya ditemukan bahwa sumber merkuri berasal dar pabrik batu baterai Chisso. Akhirnya pabrik tersebut ditutup dan harus membayar kerugian kepada penduduk Minamata kurang lebih dari 26,6 juta dolar.
II. Topik Utama
Penyakit minamata atau Sindrom minamata adalah sindrom kelainan fungsi saraf yang disebabkan oleh keracunan akut air raksa. Gejala-gejala sindrom ini seperti kesemutan pada kaki dan tangan, lemas-lemas, penyempitan sudut pandang dan degradasi kemampuan berbicara dan pendengaran. Pada tingkatan akut, gejala ini biasanya memburuk disertai dengan kelumpuhan, kegilaan, jatuh koma dan akhirnya mati.
Merkuri atau Raksa atau Air raksa (Latin: Hydrargyrum, air/cairan perak) adalah unsur kimia pada tabel periodik dengan simbol Hg dan nomor atom 80. Unsur golongan logam transisi ini berwarna keperakan dan merupakan satu dari lima unsur (bersama cesium, fransium, galium, dan brom) yang berbentuk cair dalam suhu kamar. Raksa banyak digunakan sebagai bahan amalgam gigi, termometer, barometer, dan peralatan ilmiah lain, walaupun penggunaannya untuk bahan pengisi termometer telah digantikan (oleh termometer alkohol, digital, atau termistor) dengan alasan kesehatan dan keamanan karena sifat toksik yang dimilikinya. Unsur ini diperoleh terutama melalui proses reduksi dari cinnabar mineral. Densitasnya yang tinggi menyebabkan benda-benda seperti bola biliar menjadi terapung jika diletakkan di dalam cairan raksa hanya dengan 20% volumenya terendam.
Minamata adalah sebuah desa kecil yang menghadap ke laut Shiranui, bagian selatan Jepang sebagian besar penduduknya hidup sebagai nelayan, dan merupakan pengkonsumsi ikan cukup tinggi, yaitu 286-410gram/hari. Tahun 1908 berdiri PT Chisso dengan Motto “dahulukan Keuntungan” perkembangannya pada tahun 1932. Industri ini berkembang dan memproduksi berbagai jenis produk dari pewarna kuku sampai peledak. Dengan dukungan militer industri ini merajai industri kimia dan dengan leluasa membuang limbahnya ke teluk Minamata diperkirakan 200-600 ton Hg dibuang selama tahun 1932-1968. Selain merkuri limbah PT Chisso juga berupa mangan, thalium dan selenium. Bencana mulai nampak pada tahun 1949 ketika hasil tangkapan mulai menurun drastis ditandai dengan punahnya jenis karang yang menjadi habitat ikan yang menjadi andalan nelayan Minamata.
Pada tahun 1953 beberapa ekor kucing yang memakan ikan dari teluk Minamata mengalami kejang, menari-nari, dan mengeluarkan air liur beberapa saat kemudian kucing ini mati. Tahun 1956 adanya laporan kasus gadis berusia 5 tahun yang menderita gejala kerusakan otak, gangguan bicara, dan hilangnya keseimbangan sehingga tidak dapat berjalan. Menyusul kemudian adalah adik dan empat orang tetangganya. Penyakit ini kemudian oleh Dr. Hosokawa disebut sebagai Minamata Desease. Pada tahun 1958 terdapat bukti bahwa penyakit minamata disebabkan oleh keracunan Methyl-Hg, hal ini ditunjukkan dengan kucing yang mengalami kejang dan disusul kematian setelah diberi makan Methyl-Hg.
Pada tahun 1960 bukti menyebutkan bahwa PT Chisso memiliki andil besar dalam tragedi Minamata, karena ditemukan Methyl-Hg dari ekstrak kerang dari teluk Minamata. Sedimen habitat kerang tersebut mengandung 10-100 ppm Methyl-Hg, sedangkan di dasar kanal pembuangan pabrik Chisso mencapai 2000 ppm. pada tahun 1968 pemerintah secara resmi mengakui bahwa pencemaran dari pabrik Chisso sebagai sumber penyakit minamata. Penyakit ini ternyata juga ditemukan pada janin bayi. Penyakit ini ternyata menurun secara genetis sehingga keturunnya dipastikan akan menidap penyakit minamata, sehingga orang-orang disana tidak mau mengakui bahwa mereka berasal dari Minamata karena takut tidak ada orang yang mau menjadi jodohnya.
III. Penyebab
Tahun 1959 merupakan tahun yang penting, baik bagi para penderita penyakit Minamata maupun terhadap riwayat penelitian dari penyakit tersebut. Merkuri, yang telah dicurigai sebagai penyebab sejak sekitar September 1958, mengundang lebih banyak perhatian lagi. Tanggal 19 Februari 1959, Tim Survei Penyakit Minamata/Keracunan Makanan dari Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan mengumumkan pentingnya penelitian terhadap distribusi merkuri pada Teluk Minamata. Tim ini dibentuk pada Januari 1959 sebagai tim penelitian di bawah Kementerian Kesehatan Masyarakat, semua anggotanya berasal dari Kelompok Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Kumamoto. Sebagai hasil survey tersebut, terungkap sebuah fakta yang mengejutkan. Disebutkan, kadar merkuri yang sangat tinggi dideteksi pada tubuh ikan, kerang-kerangan, dan lumpur dari Teluk Minamata yang dikumpulkan pada saat terjadinya penjangkitan Penyakit Minamata.
Secara geografi, merkuri ditemukan dalam konsentrasi tertingginya di sekitar mulut kanal pembuangan pabrik Chisso dan kadarnya menurun pada jarak yang jarak semakin jauh ke laut lepas. Data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa merkuri berasal dari kanal pembuangan pabrik dalam lumpur (masyarakat menyebutnya dobe) sekitar mulut saluran pembuangan di Hyakken, dua kilogram merkuri per ton, seakan tempat tersebut merupakan tambang merkuri. Wajar jika kemudian kelompok penelitian yang melakukan studi di tempat tersebut dibuat terkejut. Kelak, sebuah cabang baru perusahaan Chisso ”Minamata Chemicals”dibuat khusus untuk mengklaim merkuri yang terdapat di dalam Teluk Minamata, maka Pantai Minamata memang telah menjadi sebuah tambang merkuri.Konsentrasi merkuri yang tinggi tidak hanya ditemukan di Teluk Minamata. Kadar yang tinggi juga ditemukan pada rambut warga yang tinggal di sepanjang Laut Shiranui, khususnya di distrik Minamata. Setelah dibandingkan dengan penduduk di kota Kumamoto. Level tertinggi dari merkuri yang dideteksi pada rambut penderita penyakit Minamata adalah 705 ppm, jumlah tertinggi dari warga Minamata yang sehat adalah 191 ppm, dan mereka yang tinggal di luar areal Minamata adalah sekitar 4,42 ppm. Kadar merkuri yang besar juga dideteksi pada air seni penderita Penyakit Minamata, berkisar antar 30-120 gamma per hari.
Konsentrasi merkuri yang tinggi ditemukan pada ikan dan kerang-kerangan yang berasal dari Teluk Minamata, dan menyebabkan Penyakit Minamata pada tikus dan kucing percobaan. Mereka memiliki kandungan merkuri antara 20-40 ppm, yang memperkuat dugaan bahwa merkuri telah menyebar luas pada area Laut Shiranui. Standar nasional merkuri yang diperbolehkan di lingkungan saat ini adalah 1,0 ppm.
Tingkat merkuri yang tinggi juga ditemukan pada organ-organ mayat penderita penyakit Minamata dan dalam organ kucing, baik yang secara alami, maupun yang mengalaminya karena dalam percobaan diberi makan ikan dan kerang-kerangan dari Teluk Minamata. Ditemukannya kadar merkuri yang tinggi pada rambut penduduk di distrik ini menunjukkan mereka-orang dewasa, bayi, anak-anak dan ibu mereka-semua terkontaminasi merkuri berat, dengan atau tanpa adanya gejala dengan mereka. Jika masalah ini ditanggapi dengan baik, mungkin dapat meramalkan datangnya perjangkitan Penyakit Minamata yang laten. Sebelum kasus-kasus pasien dengan omset yang lambat dan gejala-gejala laten menjadi masalah serius seperti sekarang ini. Meski demikian, dalam kenyataannya, kandungan merkuri pada rambut tidak dianggap sebagai faktor menentukan dalam menegakkan diagnosa Penyakit Minamata, dan meletakkan garis batas bahwa kandungan merkuri pada rambut penduduk adalah tinggi, baik pasien ataupun bukan. Jadi, di sini juga terjadi suatu kesalahan dalam memanfaatkan data yang ada. Meski harus diakui, Kelompok Penelitian telah mengumpulkan data-data yang berguna menyangkut Penyakit Minamata dan merkuri.
Pada 22 Juli 1959, Kelompok Penelitian Penyakit Minamata mengambil kesimpulan di akhir penemuan: ”Penyakit Minamata merupakan suatu penyakit neurologis yang disebabkan oleh konsumsi ikan dan kerang-kerangan lokal, dan merkuri telah menarik perhatian besar sebagai racun yang telah mencemari ikan dan kerang-kerangan.” Teori Merkuri Organik.
Tanggal 12 November 1959, anggota Komite Dewan Investigasi Makanan dan Sanitasi Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan memaparkan laporan berikut ini kepada menteri berdasarkan laporan oleh Tim Survei Keracunan Makanan/Penyakit Minamata. Penyakit Minamata adalah suatu penyakit keracunan yang utamanya mempengaruhi sistim saraf pusat akibat mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan dari Teluk Minamata dan sekitarnya dalam jumlah besar, dimana agen penyebab utamanya adalah semacam campuran merkuri organik. Jadi, dalam hal ini merkuri organik secara resmi diumumkan sebagai substansi penyebab Penyakit Minamata. Walau begitu, tanggal 13 November, di hari berikutnya, Tim Survei Penyakit Minamata/Keracunan Makanan dari Dewan Investigasi Makanan dan Sanitasi dibubarkan secara resmi oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan.
Sementara itu, Dr. Leonard T. Kurland (NIH USA) mengunjungi Minamata pada September 1958 dan memeriksa beberapa pasien. Ia mengambil beberapa contoh makanan dari laut, air laut dan lumpur untuk dibawa ke Amerika dan dianalisa. Ia menulis sebuah artikel pada sebuah surat kabarAsahi Shinbun dan Mainiji Shinbun tanggal 8 Desember 1959, yang memperkuat kesimpulan yang dibuat oleh Universitas Kumamoto bahwa substansi penyebab dari Penyakit Minamata adalah merkuri organik.
Sebelum ditemukan bahwa merkuri merupakan penyebab dari penyakit minamata, banyak teori yang muncul dari berbagai peneliti mengenai penyebab dari penyakit minamata ini. Adapun teori-teori tersebut antara lain:
• Teori Mangan
September 1956, beredar sebuah isu di Minamata bahwa kemungkinan mangan merupakan penyebab utamanya. Sumber dari berita ini adalah Kelompok Peneliti Kumamoto. Mangan wajar dicurigai sebagai substansi penyebab, karena kelainan pada sistem ekstrapiramidal ditetapkan sebagai salah satu gejala klinis yang khas, ditambah lagi bila ada alterasi pada gangguan basalis. Mangan juga merupakan suatu kemungkinan yang logis karena kandungannya ditemukan pada air laut, air limbah, ikan, kerang, dan juga dalam organ-organ dalam penderita dalam jumlah besar. Secara resmi, mangan diumumkan sebagai penyebab yang dicurigai pada tanggal 4 November 1956, pada konferensi pertama yang diadakan Kelompok Peneliti Penyakit Minamata untuk melaporkan temuan mereka.
• Teori Thallium
Pada Mei 1958, diperkenalkan sebuah teori baru, yang mengajukan thallium sebagai penyebab. Hal ini terjadi karena thallium ditemukan dalam jumlah besar (300 ppm) pada limbah dan pembuangan pabrik di Teluk Minamata. Thallium yang secara eksperimental sangat beracun, ditemukan terkandung dalam debu yang dihasilkan oleh Cottreli precipitator yang digunakan dalam produksi asam sulfur di pabrik.Namun setelah diadakan penelitian lebih lanjut ternyata gejala penyakit akibat thallium, cukup berbeda dengan penyakit Minamata. Sehingga teori thallium tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
• Teori Selenium
Bulan April 1957, teori selenium sebagai penyebab utama diperkenalkan oleh Profesor Kitamura, mengingat sejumlah besar selenium ditemukan pada cairan limbah yang dibuang oleh pabrik di teluk minamata. Secara klinis, gangguan penglihatan dan ginjal akibat keracunan selenium terlihat lebih signifikan jika dibandingkan dengan penyakit Minamata. Namun, pada keracunan selenium, lesi pada sel korteks otak jarang ditemukan dan perwujudan klinisnya terbatas pada bergugurannya rambut dan memberatnya gejala-gejala umum. Dengan demikian, teori selenium akhirnya ditolak. Kecurigaan Pada Merkuri
IV. Kerugian
Hingga 30 April 1997, jumlah penduduk Propinsi Kumamoto dan Kagoshima yang menyatakan diri sebagai korban Minamata disease berjumlah lebih dari 17.000 orang. Sebanyak 2264 diantaranya telah diakui oleh Pemerintah dan 1408 diantaranya telah meninggal sebelum 31 Oktober 2000. Penyakit Minamata terjadi akibat banyak mengkonsumsi ikan dan kerang dari Teluk Minamata yang tercemar metil merkuri. Penyakit Minamata bukanlah penyakit yang menular atau menurun secara genetis.
Pada tahun 1968 pemerintah Jepang menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh pencemaran pabrik Chisso Co., Ltd. Metil merkuri yang masuk ke tubuh manusia akan menyerang sistem saraf pusat. Gejala awal antara lain kaki dan tangan menjadi gemetar dan lemah, kelelahan, telinga berdengung, kemampuan penglihatan melemah, kehilangan pendengaran, bicara cadel dan gerakan menjadi tidak terkendali. Beberapa penderita berat penyakit Minamata menjadi gila, tidak sadarkan diri dan meninggal setelah sebulan menderita penyakit ini. Penderita kronis penyakit ini mengalami gejala seperti sakit kepala, sering kelelahan, kehilangan indra perasa dan penciuman, dan menjadi pelupa. Meskipun gejala ini tidak terlihat jelas tetapi sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Selain itu yang lebih parah adalah penderita congenital yaitu bayi yang lahir cacat karena menyerap metil merkuri dalam rahim ibunya yang banyak mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi metil merkuri. Ibu yang mengandung tidak terserang penyakit Minamata karena metil merkuri yang masuk ke tubuh ibu akan terakumulasi dalam plasenta dan diserap oleh janin dalam kandungannya.
Panyakit Minamata tidak dapat diobati, sehingga perawatan bagi penderita hanya untuk mengurangi gejala dan terapi rehabilitasi fisik. Disamping dampak kerusakan fisik, penderita Minamata juga mengalami diskriminasi sosial dari masyarakat seperti dikucilkan, dilarang pergi tempat umum dan sukar mendapatkan pasangan hidup. Hingga April 30 April 1997, jumlah penduduk Propinsi Kumamoto dan Kagoshima yang menyatakan diri sebagai korban Minamata disease berjumlah lebih dari 17.000 orang. Sebanyak 2264 diantaranya telah diakui oleh Pemerintah dan 1408 diantaranya telah meninggal sebelum 31 Oktober 2000. Disamping itu 10.353 yang telah resmi dinyatakan sebagai penderita atau korban Minamata menerima ganti rugi sebagai kompensasi, sehingga jumlah penderita penyakit Minamata akibat keracunan merkuri dilaporkan sekitar 12.617 orang. Akan tetapi jumlah sesungguhnya masih belum diketahui secara pasti karena ada sebagian korban yang telah meninggal dunia sebelum dikeluarkannya pernyataan resmi oleh pemerintah dan terdapat pula sebagian korban yang enggan melapor karena malu. Penyakit ini tidak hanya terjadi di Minamata. Tahun 1965 penyakit Minamata menyerang warga yang tinggal di sepanjang Sungai Agano di Kota Niigata akibat pembuangan limbah merkuri oleh Showa Denko. Penyakit ini dikabarkan juga terjadi di China dan Kanada. Sungai dan danau di Amazon dan Tanzania juga tercemar merkuri dan menimbulkan masalah kesehatan yang mengkhawatirkan.
V. Penyelesaian
Pada kasus minamata pemerintah jepang mengawasi dengan ketat tentang pembuangan limbah dari industri yang dapat berdampak mencemari lingkungan dan mahluk hidup yang ada disekitarnya serta menindak dengan tegas apabila ada industri yang nakal agar tidak terjadi bencana pada kasus minamata tersebut. Pada industri-industri yang menggunakan bahan baku air raksa dan merkuri sebisa mungkin mengganti bahan baku tersebut dengan bahan baku pengganti yang aman untuk kesehatan dan lingkungan hidup sekitaranya. Pemilihan bahan baku yang ramah lingkungan sangat diperlukan. Selain itu tata cara pembuangan limbah berbahaya harus dipatuhi.
I. Latar Belakang
Penyakit minamata mendapat namanya dari kota Minamata, Prefektur Kumamoto di Jepang, yang merupakan daerah penyakit ini mewabah mulai tahun 1958. Pada waktu itu terjadi masalah wabah penyakit di kota Mintamana Jepang. Ratusan orang mati akitbat penyakit yang aneh dengan gejala kelumpuhan syaraf. Mengetahui hal tersebut, para ahli kesehatan menemukan masalah yang harus segera diamati dan dicari penyebabnya. Melalui pengamatan yang mendalam tentang gejala penyakit dan kebiasaan orang jepang, termasuk pola makan kemudian diambil suatu hipotesis. Hipotesisnya adalah bahwa penyakit tersebut mirip orang yang keracunan logam berat. Kemudian dari kebudayaan setempat diketahui bahwa orang Jepang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi ikan laut dalam jumlah banyak. Dari hipotesis dan kebiasaan pola makan tesebut kemudian dilakukan eksperimen untuk mengetahui apakah ikan-ikan di Teluk Minamata banyak mengandung logam berat (merkuri). Kemudian di susun teori bahwa penyakit tesebut diakibatkan oleh keracunan logam merkuri yang terkandung pada ikan. Ikan tesebut mengandung merkuri akibat adanya orang atau pabrik yang membuang merkuri ke laut. Penelitian berlanjut dan akihirnya ditemukan bahwa sumber merkuri berasal dar pabrik batu baterai Chisso. Akhirnya pabrik tersebut ditutup dan harus membayar kerugian kepada penduduk Minamata kurang lebih dari 26,6 juta dolar.
II. Topik Utama
Penyakit minamata atau Sindrom minamata adalah sindrom kelainan fungsi saraf yang disebabkan oleh keracunan akut air raksa. Gejala-gejala sindrom ini seperti kesemutan pada kaki dan tangan, lemas-lemas, penyempitan sudut pandang dan degradasi kemampuan berbicara dan pendengaran. Pada tingkatan akut, gejala ini biasanya memburuk disertai dengan kelumpuhan, kegilaan, jatuh koma dan akhirnya mati.
Merkuri atau Raksa atau Air raksa (Latin: Hydrargyrum, air/cairan perak) adalah unsur kimia pada tabel periodik dengan simbol Hg dan nomor atom 80. Unsur golongan logam transisi ini berwarna keperakan dan merupakan satu dari lima unsur (bersama cesium, fransium, galium, dan brom) yang berbentuk cair dalam suhu kamar. Raksa banyak digunakan sebagai bahan amalgam gigi, termometer, barometer, dan peralatan ilmiah lain, walaupun penggunaannya untuk bahan pengisi termometer telah digantikan (oleh termometer alkohol, digital, atau termistor) dengan alasan kesehatan dan keamanan karena sifat toksik yang dimilikinya. Unsur ini diperoleh terutama melalui proses reduksi dari cinnabar mineral. Densitasnya yang tinggi menyebabkan benda-benda seperti bola biliar menjadi terapung jika diletakkan di dalam cairan raksa hanya dengan 20% volumenya terendam.
Minamata adalah sebuah desa kecil yang menghadap ke laut Shiranui, bagian selatan Jepang sebagian besar penduduknya hidup sebagai nelayan, dan merupakan pengkonsumsi ikan cukup tinggi, yaitu 286-410gram/hari. Tahun 1908 berdiri PT Chisso dengan Motto “dahulukan Keuntungan” perkembangannya pada tahun 1932. Industri ini berkembang dan memproduksi berbagai jenis produk dari pewarna kuku sampai peledak. Dengan dukungan militer industri ini merajai industri kimia dan dengan leluasa membuang limbahnya ke teluk Minamata diperkirakan 200-600 ton Hg dibuang selama tahun 1932-1968. Selain merkuri limbah PT Chisso juga berupa mangan, thalium dan selenium. Bencana mulai nampak pada tahun 1949 ketika hasil tangkapan mulai menurun drastis ditandai dengan punahnya jenis karang yang menjadi habitat ikan yang menjadi andalan nelayan Minamata.
Pada tahun 1953 beberapa ekor kucing yang memakan ikan dari teluk Minamata mengalami kejang, menari-nari, dan mengeluarkan air liur beberapa saat kemudian kucing ini mati. Tahun 1956 adanya laporan kasus gadis berusia 5 tahun yang menderita gejala kerusakan otak, gangguan bicara, dan hilangnya keseimbangan sehingga tidak dapat berjalan. Menyusul kemudian adalah adik dan empat orang tetangganya. Penyakit ini kemudian oleh Dr. Hosokawa disebut sebagai Minamata Desease. Pada tahun 1958 terdapat bukti bahwa penyakit minamata disebabkan oleh keracunan Methyl-Hg, hal ini ditunjukkan dengan kucing yang mengalami kejang dan disusul kematian setelah diberi makan Methyl-Hg.
Pada tahun 1960 bukti menyebutkan bahwa PT Chisso memiliki andil besar dalam tragedi Minamata, karena ditemukan Methyl-Hg dari ekstrak kerang dari teluk Minamata. Sedimen habitat kerang tersebut mengandung 10-100 ppm Methyl-Hg, sedangkan di dasar kanal pembuangan pabrik Chisso mencapai 2000 ppm. pada tahun 1968 pemerintah secara resmi mengakui bahwa pencemaran dari pabrik Chisso sebagai sumber penyakit minamata. Penyakit ini ternyata juga ditemukan pada janin bayi. Penyakit ini ternyata menurun secara genetis sehingga keturunnya dipastikan akan menidap penyakit minamata, sehingga orang-orang disana tidak mau mengakui bahwa mereka berasal dari Minamata karena takut tidak ada orang yang mau menjadi jodohnya.
III. Penyebab
Tahun 1959 merupakan tahun yang penting, baik bagi para penderita penyakit Minamata maupun terhadap riwayat penelitian dari penyakit tersebut. Merkuri, yang telah dicurigai sebagai penyebab sejak sekitar September 1958, mengundang lebih banyak perhatian lagi. Tanggal 19 Februari 1959, Tim Survei Penyakit Minamata/Keracunan Makanan dari Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan mengumumkan pentingnya penelitian terhadap distribusi merkuri pada Teluk Minamata. Tim ini dibentuk pada Januari 1959 sebagai tim penelitian di bawah Kementerian Kesehatan Masyarakat, semua anggotanya berasal dari Kelompok Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Kumamoto. Sebagai hasil survey tersebut, terungkap sebuah fakta yang mengejutkan. Disebutkan, kadar merkuri yang sangat tinggi dideteksi pada tubuh ikan, kerang-kerangan, dan lumpur dari Teluk Minamata yang dikumpulkan pada saat terjadinya penjangkitan Penyakit Minamata.
Secara geografi, merkuri ditemukan dalam konsentrasi tertingginya di sekitar mulut kanal pembuangan pabrik Chisso dan kadarnya menurun pada jarak yang jarak semakin jauh ke laut lepas. Data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa merkuri berasal dari kanal pembuangan pabrik dalam lumpur (masyarakat menyebutnya dobe) sekitar mulut saluran pembuangan di Hyakken, dua kilogram merkuri per ton, seakan tempat tersebut merupakan tambang merkuri. Wajar jika kemudian kelompok penelitian yang melakukan studi di tempat tersebut dibuat terkejut. Kelak, sebuah cabang baru perusahaan Chisso ”Minamata Chemicals”dibuat khusus untuk mengklaim merkuri yang terdapat di dalam Teluk Minamata, maka Pantai Minamata memang telah menjadi sebuah tambang merkuri.Konsentrasi merkuri yang tinggi tidak hanya ditemukan di Teluk Minamata. Kadar yang tinggi juga ditemukan pada rambut warga yang tinggal di sepanjang Laut Shiranui, khususnya di distrik Minamata. Setelah dibandingkan dengan penduduk di kota Kumamoto. Level tertinggi dari merkuri yang dideteksi pada rambut penderita penyakit Minamata adalah 705 ppm, jumlah tertinggi dari warga Minamata yang sehat adalah 191 ppm, dan mereka yang tinggal di luar areal Minamata adalah sekitar 4,42 ppm. Kadar merkuri yang besar juga dideteksi pada air seni penderita Penyakit Minamata, berkisar antar 30-120 gamma per hari.
Konsentrasi merkuri yang tinggi ditemukan pada ikan dan kerang-kerangan yang berasal dari Teluk Minamata, dan menyebabkan Penyakit Minamata pada tikus dan kucing percobaan. Mereka memiliki kandungan merkuri antara 20-40 ppm, yang memperkuat dugaan bahwa merkuri telah menyebar luas pada area Laut Shiranui. Standar nasional merkuri yang diperbolehkan di lingkungan saat ini adalah 1,0 ppm.
Tingkat merkuri yang tinggi juga ditemukan pada organ-organ mayat penderita penyakit Minamata dan dalam organ kucing, baik yang secara alami, maupun yang mengalaminya karena dalam percobaan diberi makan ikan dan kerang-kerangan dari Teluk Minamata. Ditemukannya kadar merkuri yang tinggi pada rambut penduduk di distrik ini menunjukkan mereka-orang dewasa, bayi, anak-anak dan ibu mereka-semua terkontaminasi merkuri berat, dengan atau tanpa adanya gejala dengan mereka. Jika masalah ini ditanggapi dengan baik, mungkin dapat meramalkan datangnya perjangkitan Penyakit Minamata yang laten. Sebelum kasus-kasus pasien dengan omset yang lambat dan gejala-gejala laten menjadi masalah serius seperti sekarang ini. Meski demikian, dalam kenyataannya, kandungan merkuri pada rambut tidak dianggap sebagai faktor menentukan dalam menegakkan diagnosa Penyakit Minamata, dan meletakkan garis batas bahwa kandungan merkuri pada rambut penduduk adalah tinggi, baik pasien ataupun bukan. Jadi, di sini juga terjadi suatu kesalahan dalam memanfaatkan data yang ada. Meski harus diakui, Kelompok Penelitian telah mengumpulkan data-data yang berguna menyangkut Penyakit Minamata dan merkuri.
Pada 22 Juli 1959, Kelompok Penelitian Penyakit Minamata mengambil kesimpulan di akhir penemuan: ”Penyakit Minamata merupakan suatu penyakit neurologis yang disebabkan oleh konsumsi ikan dan kerang-kerangan lokal, dan merkuri telah menarik perhatian besar sebagai racun yang telah mencemari ikan dan kerang-kerangan.” Teori Merkuri Organik.
Tanggal 12 November 1959, anggota Komite Dewan Investigasi Makanan dan Sanitasi Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan memaparkan laporan berikut ini kepada menteri berdasarkan laporan oleh Tim Survei Keracunan Makanan/Penyakit Minamata. Penyakit Minamata adalah suatu penyakit keracunan yang utamanya mempengaruhi sistim saraf pusat akibat mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan dari Teluk Minamata dan sekitarnya dalam jumlah besar, dimana agen penyebab utamanya adalah semacam campuran merkuri organik. Jadi, dalam hal ini merkuri organik secara resmi diumumkan sebagai substansi penyebab Penyakit Minamata. Walau begitu, tanggal 13 November, di hari berikutnya, Tim Survei Penyakit Minamata/Keracunan Makanan dari Dewan Investigasi Makanan dan Sanitasi dibubarkan secara resmi oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan.
Sementara itu, Dr. Leonard T. Kurland (NIH USA) mengunjungi Minamata pada September 1958 dan memeriksa beberapa pasien. Ia mengambil beberapa contoh makanan dari laut, air laut dan lumpur untuk dibawa ke Amerika dan dianalisa. Ia menulis sebuah artikel pada sebuah surat kabarAsahi Shinbun dan Mainiji Shinbun tanggal 8 Desember 1959, yang memperkuat kesimpulan yang dibuat oleh Universitas Kumamoto bahwa substansi penyebab dari Penyakit Minamata adalah merkuri organik.
Sebelum ditemukan bahwa merkuri merupakan penyebab dari penyakit minamata, banyak teori yang muncul dari berbagai peneliti mengenai penyebab dari penyakit minamata ini. Adapun teori-teori tersebut antara lain:
• Teori Mangan
September 1956, beredar sebuah isu di Minamata bahwa kemungkinan mangan merupakan penyebab utamanya. Sumber dari berita ini adalah Kelompok Peneliti Kumamoto. Mangan wajar dicurigai sebagai substansi penyebab, karena kelainan pada sistem ekstrapiramidal ditetapkan sebagai salah satu gejala klinis yang khas, ditambah lagi bila ada alterasi pada gangguan basalis. Mangan juga merupakan suatu kemungkinan yang logis karena kandungannya ditemukan pada air laut, air limbah, ikan, kerang, dan juga dalam organ-organ dalam penderita dalam jumlah besar. Secara resmi, mangan diumumkan sebagai penyebab yang dicurigai pada tanggal 4 November 1956, pada konferensi pertama yang diadakan Kelompok Peneliti Penyakit Minamata untuk melaporkan temuan mereka.
• Teori Thallium
Pada Mei 1958, diperkenalkan sebuah teori baru, yang mengajukan thallium sebagai penyebab. Hal ini terjadi karena thallium ditemukan dalam jumlah besar (300 ppm) pada limbah dan pembuangan pabrik di Teluk Minamata. Thallium yang secara eksperimental sangat beracun, ditemukan terkandung dalam debu yang dihasilkan oleh Cottreli precipitator yang digunakan dalam produksi asam sulfur di pabrik.Namun setelah diadakan penelitian lebih lanjut ternyata gejala penyakit akibat thallium, cukup berbeda dengan penyakit Minamata. Sehingga teori thallium tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
• Teori Selenium
Bulan April 1957, teori selenium sebagai penyebab utama diperkenalkan oleh Profesor Kitamura, mengingat sejumlah besar selenium ditemukan pada cairan limbah yang dibuang oleh pabrik di teluk minamata. Secara klinis, gangguan penglihatan dan ginjal akibat keracunan selenium terlihat lebih signifikan jika dibandingkan dengan penyakit Minamata. Namun, pada keracunan selenium, lesi pada sel korteks otak jarang ditemukan dan perwujudan klinisnya terbatas pada bergugurannya rambut dan memberatnya gejala-gejala umum. Dengan demikian, teori selenium akhirnya ditolak. Kecurigaan Pada Merkuri
IV. Kerugian
Hingga 30 April 1997, jumlah penduduk Propinsi Kumamoto dan Kagoshima yang menyatakan diri sebagai korban Minamata disease berjumlah lebih dari 17.000 orang. Sebanyak 2264 diantaranya telah diakui oleh Pemerintah dan 1408 diantaranya telah meninggal sebelum 31 Oktober 2000. Penyakit Minamata terjadi akibat banyak mengkonsumsi ikan dan kerang dari Teluk Minamata yang tercemar metil merkuri. Penyakit Minamata bukanlah penyakit yang menular atau menurun secara genetis.
Pada tahun 1968 pemerintah Jepang menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh pencemaran pabrik Chisso Co., Ltd. Metil merkuri yang masuk ke tubuh manusia akan menyerang sistem saraf pusat. Gejala awal antara lain kaki dan tangan menjadi gemetar dan lemah, kelelahan, telinga berdengung, kemampuan penglihatan melemah, kehilangan pendengaran, bicara cadel dan gerakan menjadi tidak terkendali. Beberapa penderita berat penyakit Minamata menjadi gila, tidak sadarkan diri dan meninggal setelah sebulan menderita penyakit ini. Penderita kronis penyakit ini mengalami gejala seperti sakit kepala, sering kelelahan, kehilangan indra perasa dan penciuman, dan menjadi pelupa. Meskipun gejala ini tidak terlihat jelas tetapi sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Selain itu yang lebih parah adalah penderita congenital yaitu bayi yang lahir cacat karena menyerap metil merkuri dalam rahim ibunya yang banyak mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi metil merkuri. Ibu yang mengandung tidak terserang penyakit Minamata karena metil merkuri yang masuk ke tubuh ibu akan terakumulasi dalam plasenta dan diserap oleh janin dalam kandungannya.
Panyakit Minamata tidak dapat diobati, sehingga perawatan bagi penderita hanya untuk mengurangi gejala dan terapi rehabilitasi fisik. Disamping dampak kerusakan fisik, penderita Minamata juga mengalami diskriminasi sosial dari masyarakat seperti dikucilkan, dilarang pergi tempat umum dan sukar mendapatkan pasangan hidup. Hingga April 30 April 1997, jumlah penduduk Propinsi Kumamoto dan Kagoshima yang menyatakan diri sebagai korban Minamata disease berjumlah lebih dari 17.000 orang. Sebanyak 2264 diantaranya telah diakui oleh Pemerintah dan 1408 diantaranya telah meninggal sebelum 31 Oktober 2000. Disamping itu 10.353 yang telah resmi dinyatakan sebagai penderita atau korban Minamata menerima ganti rugi sebagai kompensasi, sehingga jumlah penderita penyakit Minamata akibat keracunan merkuri dilaporkan sekitar 12.617 orang. Akan tetapi jumlah sesungguhnya masih belum diketahui secara pasti karena ada sebagian korban yang telah meninggal dunia sebelum dikeluarkannya pernyataan resmi oleh pemerintah dan terdapat pula sebagian korban yang enggan melapor karena malu. Penyakit ini tidak hanya terjadi di Minamata. Tahun 1965 penyakit Minamata menyerang warga yang tinggal di sepanjang Sungai Agano di Kota Niigata akibat pembuangan limbah merkuri oleh Showa Denko. Penyakit ini dikabarkan juga terjadi di China dan Kanada. Sungai dan danau di Amazon dan Tanzania juga tercemar merkuri dan menimbulkan masalah kesehatan yang mengkhawatirkan.
V. Penyelesaian
Pada kasus minamata pemerintah jepang mengawasi dengan ketat tentang pembuangan limbah dari industri yang dapat berdampak mencemari lingkungan dan mahluk hidup yang ada disekitarnya serta menindak dengan tegas apabila ada industri yang nakal agar tidak terjadi bencana pada kasus minamata tersebut. Pada industri-industri yang menggunakan bahan baku air raksa dan merkuri sebisa mungkin mengganti bahan baku tersebut dengan bahan baku pengganti yang aman untuk kesehatan dan lingkungan hidup sekitaranya. Pemilihan bahan baku yang ramah lingkungan sangat diperlukan. Selain itu tata cara pembuangan limbah berbahaya harus dipatuhi.
MTM-1
Definisi Methods Time Measurement (MTM-1)
Pengukuran waktu metoda atau Methods Time Measurement-1 (MTM-1) adalah suatu sistem penetapan awal waktu baku (Predetermined time standard) yang dikembangkan berdasarkan studi gambar gerakan-gerakan kerja dari suatu operasi kerja industri yang direkam dalam film (Sritomo, 1992).
Metoda ini berguna untuk siklus yang berulang-ulang dan cukup detail. Dalam pengidentifikasian elemen gerakan dasarnya, metoda ini mempertimbangkan 3 tipe pengontrolan atau pengendalian, yang berguna untuk mengetahui pengaruh pergerakan atau gerakan kerja, yaitu:
1. Pengendalian otot, yang besarnya tergantung kebutuhan.
2. Pengendalian pengelihatan atau mata, yang terdiri dari fokus, perpindahan dan sudut pandang.
3. Pengendalian mental, yang dimaksud ialah motivasi dari gerakkan.
Selain MTM-1 terdapat beberapa macam MTM lainnya, yaitu sebagai berikut (Diktat Kuliah, 2008).
1. MTM – 1
Digunakan untuk siklus yang berulang-ulang.
2. MTM – 2
Merupakan perkembangan dari MTM – 1.
3. MTM – 3
Digunakan untuk produksi kecil, perawatan dan aktifitas konstruksi.
4. MTM – C1
Digunakan untuk buruh tak langsung.
5. MTM – C2
Merupakan perkembangan dari MTM – C1.
6. MTM – V
Digunakan untuk buruh langsung dalam bengkel mesin.
7. MTM – M
Digunakan untuk buruh langsung dalam pekerjaan yang menggunakan alat-alat optik.
8. 4M
Merupakan komputerisasi dari MTM – 1.
Adapun tingkat kesulitan yang berpengaruh terhadap pengontrolan dan pengendalian gerakannya dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
A. Tingkat Pengendalian Rendah ( LOW )
1. Pergerakkannya otomatis.
2. Mudah mempelajarinya atau melakukannya.
3. Tidak memerlukan koordinasi antara mata dan tangan, dan hanya memerlukan pengendalian tenaga yang sedikit atau minimum.
4. Sedikit otot yang bekerja.
5. Merupakan tipe yang efisien dari bagian pergerakkan tubuh.
6. Sudah terampil, pergerakkannya tanpa kesadaran / konsentrasi yang tinggi, karena sudah terprogram dalam otak.
7. Tanpa keragu-raguan.
B. Tingkat Pengendalian Sedang ( MEDIUM )
1. Memerlukan beberapa ketepatan dan ketetlitian dalam pergerakkan.
2. Koordinasi antara mata dan tangan cukup diperlukan, tapi tidak banyak atau terlampau sulit.
3. Memerlukan beberapa koordinasi otot sampai akhir dari pergerakkan tersebut.
4. Cukup banyak gerakan-gerakan yang membutuhkan kesadaran atau konsentrasi yang khusus.
5. Memerlukan informasi dari penglihatan ke otak, dengan tujuan menentukan gerakan selanjutnya.
6. Pekerja bekerja tanpa latihan atau trainint yang lama atau sulit.
C. Tingkat Pengendalian Tinggi ( HIGH )
1. Membutuhkan ketepatan yang tinggi dalam pergerakan.
2. Koordinasi mata dan tangan mutlak dan tanpa henti.
3. Otot bekerja lebih ekstra.
4. Butuh konsentrasi yang tinggi.
5. Butuh ketelitian yang tinggi.
6. Informasi dari alat-alat sensorik sangat dibutuhkan sekali untuk memulai pergerakkannya.
7. Sebelum operator bekerja harus melalui training yang sungguh-sungguh dan lama terlebih dahulu.
Pada dasarnya terdapat tiga tahap dalam melakukan pengukuran waktu kerja dengan metoda MTM-1 yaitu:
1. Pendahuluan.
2. Observasi.
3. Perhitungan dan Pengecekan.
Pemilihan operator sebaiknya dipilih yang sudah mempunyai metoda kerja yang tetap dan dianggap baik dan terampil. Yang dimaksud dengan pendekatan operator ialah pemberitahuhan kepada operator tersebut tentang pengukuran dan pencatatan yang akan kita lakukan, dengan tujuan agar supaya operator tersebut dapat bekerja secara wajar. Yang dimaksud dengan pengumpulan informasi ialah identifikasi kegiatan yang antara lain meliputi: lokasi kegiatan, identifikasi bahan dan bagian-bagiannya, peralatan yang dipakai, tata letak tempat kerja, kondisi pekerjaan, kwalitas dan pengukuran jarak.
Sumber : (Yudiantyo, 2003).
Pengukuran waktu metoda atau Methods Time Measurement-1 (MTM-1) adalah suatu sistem penetapan awal waktu baku (Predetermined time standard) yang dikembangkan berdasarkan studi gambar gerakan-gerakan kerja dari suatu operasi kerja industri yang direkam dalam film (Sritomo, 1992).
Metoda ini berguna untuk siklus yang berulang-ulang dan cukup detail. Dalam pengidentifikasian elemen gerakan dasarnya, metoda ini mempertimbangkan 3 tipe pengontrolan atau pengendalian, yang berguna untuk mengetahui pengaruh pergerakan atau gerakan kerja, yaitu:
1. Pengendalian otot, yang besarnya tergantung kebutuhan.
2. Pengendalian pengelihatan atau mata, yang terdiri dari fokus, perpindahan dan sudut pandang.
3. Pengendalian mental, yang dimaksud ialah motivasi dari gerakkan.
Selain MTM-1 terdapat beberapa macam MTM lainnya, yaitu sebagai berikut (Diktat Kuliah, 2008).
1. MTM – 1
Digunakan untuk siklus yang berulang-ulang.
2. MTM – 2
Merupakan perkembangan dari MTM – 1.
3. MTM – 3
Digunakan untuk produksi kecil, perawatan dan aktifitas konstruksi.
4. MTM – C1
Digunakan untuk buruh tak langsung.
5. MTM – C2
Merupakan perkembangan dari MTM – C1.
6. MTM – V
Digunakan untuk buruh langsung dalam bengkel mesin.
7. MTM – M
Digunakan untuk buruh langsung dalam pekerjaan yang menggunakan alat-alat optik.
8. 4M
Merupakan komputerisasi dari MTM – 1.
Adapun tingkat kesulitan yang berpengaruh terhadap pengontrolan dan pengendalian gerakannya dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
A. Tingkat Pengendalian Rendah ( LOW )
1. Pergerakkannya otomatis.
2. Mudah mempelajarinya atau melakukannya.
3. Tidak memerlukan koordinasi antara mata dan tangan, dan hanya memerlukan pengendalian tenaga yang sedikit atau minimum.
4. Sedikit otot yang bekerja.
5. Merupakan tipe yang efisien dari bagian pergerakkan tubuh.
6. Sudah terampil, pergerakkannya tanpa kesadaran / konsentrasi yang tinggi, karena sudah terprogram dalam otak.
7. Tanpa keragu-raguan.
B. Tingkat Pengendalian Sedang ( MEDIUM )
1. Memerlukan beberapa ketepatan dan ketetlitian dalam pergerakkan.
2. Koordinasi antara mata dan tangan cukup diperlukan, tapi tidak banyak atau terlampau sulit.
3. Memerlukan beberapa koordinasi otot sampai akhir dari pergerakkan tersebut.
4. Cukup banyak gerakan-gerakan yang membutuhkan kesadaran atau konsentrasi yang khusus.
5. Memerlukan informasi dari penglihatan ke otak, dengan tujuan menentukan gerakan selanjutnya.
6. Pekerja bekerja tanpa latihan atau trainint yang lama atau sulit.
C. Tingkat Pengendalian Tinggi ( HIGH )
1. Membutuhkan ketepatan yang tinggi dalam pergerakan.
2. Koordinasi mata dan tangan mutlak dan tanpa henti.
3. Otot bekerja lebih ekstra.
4. Butuh konsentrasi yang tinggi.
5. Butuh ketelitian yang tinggi.
6. Informasi dari alat-alat sensorik sangat dibutuhkan sekali untuk memulai pergerakkannya.
7. Sebelum operator bekerja harus melalui training yang sungguh-sungguh dan lama terlebih dahulu.
Pada dasarnya terdapat tiga tahap dalam melakukan pengukuran waktu kerja dengan metoda MTM-1 yaitu:
1. Pendahuluan.
2. Observasi.
3. Perhitungan dan Pengecekan.
Pemilihan operator sebaiknya dipilih yang sudah mempunyai metoda kerja yang tetap dan dianggap baik dan terampil. Yang dimaksud dengan pendekatan operator ialah pemberitahuhan kepada operator tersebut tentang pengukuran dan pencatatan yang akan kita lakukan, dengan tujuan agar supaya operator tersebut dapat bekerja secara wajar. Yang dimaksud dengan pengumpulan informasi ialah identifikasi kegiatan yang antara lain meliputi: lokasi kegiatan, identifikasi bahan dan bagian-bagiannya, peralatan yang dipakai, tata letak tempat kerja, kondisi pekerjaan, kwalitas dan pengukuran jarak.
Sumber : (Yudiantyo, 2003).
Pembangunan Industri
BAB I
Tinjauan Umum Pembangunan Industri Dalam Konsep/ Teori Pembangunan
Landasan teoretis konsep pembangunan dalam proses industrialisasi berevolusi mulai dari hanya yang menekankan kepada pertumbuhan hingga mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat setempat sebagai berikut :
1. Growth model development concept, yang menekankan pada peran GNP dan Pendapatan Per Kapita
2. Economic growth and social change model development concept , yang menyatakan bahwa agar masyarakat dipersiapkan dengan peningkatan kemampuan masyarakat agar tidak tertinggal dan tergilas oleh modernisasi dan industrialisasi
3. Ethical value model of development concept, yang menyatakan bahwa disamping penyiapan masyarakat perlu juga memastikan agar nilai-nilai dasar, ideologi dan budaya masyarakat setempat tidak terserabut tetapi agar memberikan nilai tambah dalam kontribusi pembangunan.
Hukum dan proses pembangunan memiliki kaitan yang erat. Perancangan, perumusan dan analisis hukum memerlukan tools non hukum yang sifatnya multidisciplinary, seperti GIS, standardisasi, AMDAL, hukum pasar modal dan lain-lain. Untuk tercapainya keunggulan kompetitif suatu negara, maka sumber daya yang dimiliki seperti sumber daya alam, lingkungan, potensi geografis dan lain-lain perlu dioptimalkan dan dikombinasikan dengan IPTEK, ketersediaan softlaw berupa perangkat peraturan yang memadai dan mendukung kondusivitas investasi, dengan tetap menjaga dan membangun kesadaran perlindungan lingkungan ( environment conservatory awareness) demi tetap terjaganya konsep pembangunan industri yang berkelanjutan dalam perspektif global dan lokal. Pengandalan hanya kepada keunggulan kompetitif berdasarkan sumber daya (resource based development) dalam konteks persaingan global tidak sepenuhnya lagi dapat diandalkan. Karena itu knowledge based industri dalam bentuk penguasaan IPTEK, perlindungan Intellectual Property Rights harus dikemas dan dimaintain dalam skala yang optimal untuk tetap survive dalam persaingan dunia yang borderless dengan tetap melibatkan potensi kearifan lokal masyarakat.
BAB II
Potret masalah industri dan konsep pembangunan industri
Gambaran empiris tentang land market dan lokasi industri melibatkan berbagai faktor seperti masalah pertanahan, perburuhan/ tenaga kerja, modal, ekologi dan lain-lain. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam bidang ini antara lain adalah seperti pilihan lokasi industri yang dikaitkan dengan harga tanah, ketersediaan infrastruktur, konsumen dan respon masyarakat sekitar. Hal tersebut utamanya adalah dari perspektif pengusaha yang dituntut untuk memaksimalkan profit dan shareholder value. Pemerintah (host government) seyogianya tidak boleh hanya terpaku pada perspektif dan sudut pandang pengusaha semata, tetapi harus tetap dalam koridor misinya untuk mensejahterakan rakyat.Pemerintahan yang cerdas harus dapat memanfaatkan investasi yang masuk ke negaranya untuk menata dan merestrukturisasi perimbangan perekonomian masyarakat. Hal ini dapat dilakukan apabila pemerintah suatu negara memiliki visi yang jelas dalam tahapan maupun pilihan industri yang akan dikembangkan (center of excellence). Pemerintah memiliki legitimasi dan instrumen yang memadai untuk hal itu dalam bentuk antara lain :a. Pembuatan aturan yang dapat memberikan insentif atau disinsentif fiskal untuk pengendalian harga tanah di lokasi tertentub. Penyebaran sentra-sentra pembangunan (developing growth center)c. Insentif finansial sebagai upaya untuk mendorong pembangunan kawasan yang dikehendakid. Penegakan hukum secara tegas dan bijaksanaHal-hal tersebut di atas akan dapat diwujudkan apabila Pemerintah dapat bersinergi secara positif dengan dunia usaha (di Indonesia misalnya diwakili oleh asosiasi KADIN), mendapatkan legitimasi dan dukungan kuat dari suprastruktur serta amanah dalam menjalankan mandat demokratis yang melandasi pemerintahannya. Skala prioritas mutlak diperlukan untuk fokus kepada jenis industri tertentu yang pada gilirannya diharapkan dapat menjadi penggerak dan stimulan untuk pengembangan geliat sektor ekonomi lainnya. Masyarakat industri tidak dapat diciptakan dengan seketika. Hal tersebut adalah merupakan puncak dari amalgamasi dan pencapaian cerdas dari keuletan Pemerintah, bersama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam merumuskan, menjalankan dan mengevaluasi agenda dan set of vision yang clear mengenai potret dan arah industrialisasi yang diinginkan.
BAB III
Sistem Hukum Industri dan Perkembangannya dalam sistem hukum global
Sistem hukum industri memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks serta multidisciplinary, yaitu menyangkut anasir-anasir berikut :
• Hukum sebagai sarana pembaharuan/ pembangunan di bidang industri dalam perspektif ilmu-ilmu yang lain
• Hukum industri dalam sistem kawasan berdasarkan hukum tata ruang
• Hukum industri dalam sistem perizinan yang bersifat lintas lembaga dan yurisdiksi hukum industri dalam perspektif global dan lokal
• Hukum alih teknologi, desain produksi dan hukum konstruksi serta standardisasi
• Masalah tanggungjawab dalam sistem hukum industri
• Pergeseran hudaya hukum dari ‘ command and control’ ke ‘self-regulatory system’ untuk mengurangi ongkos birokrasi
Keterkaitan industri lokal dengan aturan main di industri global merupakan sebuah keniscayaan. Adanya GATT dan WTO yang merupakan wadah yang mengatur tata industri baru di dunia memaksa setiap negara yang apabila ingin ikut berpartisipasi dalam pusaran pergerakan ekonomi dunia harus menyesuaikan perangkat hukum dan standarisasi industrinya. Beberapa system hukum global yang harus diadopt dunia antara lain adalah aturan WTO mengenai penundukan sukarela terhadap aturan kelembagaan dunia, ketaatan kepada ketentuan mengenai tarif dan hambatan non tarif, ketentuan-ketentuan mengenai objek sengketa dan mekanisme penyelesaian sengketa, standardisasi dan penghormatan terhadap putusan hukum arbitrase.Interaksi dalam pergaulan nasional terhadap global mempengaruhi sistem hukum termasuk pengembangan sistem hukum nasional. Peran panel ahli menjadi lebih menonjol dibandingkan dengan peran birokrasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Muara daripada perkembangan sistem hukum adalah mendorong industrial self-regulatory system, sementara sistem hukum publik diharapkan hanya terbatas untuk mengatur tata lintas hukum perdata internasional, dan menjadi fasilitator dalam pengembangan tata dunia baru yang modern dan almost borderless. Kemajuan teknologi komunikasi memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan sistem hukum dan tata dunia baru tersebut.
Konsep dasar Undang-undang Penataan Ruang
Penataan ruang di Indonesia diatur dalam Undang-undang. Undang-undang itu berkembang secara dinamis untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan industri. Undang-undang tata ruang berkembang secara dinamis.Undang-undang tata ruang nomor 24 tahun 1992 merupakan pengganti dari Ordonansi Pembentukan Kota (Stadvormingsordonantie Staatblad Tahun 1948 Nomor 168, keputusan letnan Gubernur jenderal tanggal 23 Juli 1948 no. 13).[1] Kemudian dengan Undang-undang nomor 26 tahun 2007, undang-undang tata ruang diperbaharui kembali. Pertimbangan yang mendasar terkait dengan Undang-undang Penataan Ruang adalah :
1. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa perkembangan situasi dan kondisi nasional dan internasional menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraa penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan idiil Pancasila;c. bahwa untuk memperkukuh Ketahanan Nasional berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan antar daerah;d. bahwa keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;e. bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan;Tata ruang dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.Adapun kawasan-kawasan peruntukan tata ruang dibedakan dengan kawasan lindung, kawasan budi daya, kawasan perdesaan, kawasan agropolitan, kawasan perkotaan, kawasan metropolitan, kawasan megapolitan, kawasan strategis nasional – provinsi – dan kabupaten kota. Dengan adanya pengaturan yang terstruktur seperti itu diharapkan kualitas lingkungan tetap terjaga baik untuk kepentingan generasi yang sekarang maupun yang akan datang. . Industri dalam Sistem Perdagangan Bebas Sistem Perdagangan Dunia dewasa ini diatur dalam mekanisme WTO (World TradeOrganization). Organisasi Perdagangan Dunia (bahasa Inggris: WTO, World Trade Organization) adalah organisasi internasional yang mengawasi banyak persetujuan yang mendefinisikan “aturan perdagangan” di antara anggotanya (WTO, 2004a). Didirikan pada 1 Januari 1995 untuk menggantikan GATT, persetujuan setelah Perang Dunia II untuk meniadakan hambatan perdagangan internasional. Prinsip dan persetujuan GATT diambil oleh WTO, yang bertugas untuk mendaftar dan memperluasnya.Dalam penetapan standar industri, prinsip-prinsip WTO adalah : • transparency, • non-discrimination, • mutual recognition, • equivalence and • harmonizationPenetapan standar dalam industri diperlukan untuk : • Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; • Membantu kelancaran perdagangan; • Mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.Organisasi yang berkecimpung dalam standardisasi ada yang bersifat lokal, nasional dan regional dan global. Badan standar di dunia yang paling luas dikenal adalah Organisasi Internasional untuk Standardisasi (International Organization for Standardization (ISO atau Iso)) adalah badan penetap standar internasional yang terdiri dari wakil-wakil dari badan standar nasional setiap negara. Kesadaran lingkungan global menghasilkan kesadaran sukarela para pelaku industri untuk tidak hanya sekedar mendapatkan ISO tetapi juga bergerak ke arah ecolabelling. “Ecolabelling” is a voluntary method of environmental performance certification and labelling that is practised around the world. An “ecolabel” is a label which identifies overall environmental preference of a product or service within a specific product/service category based on life cycle considerations. In contrast to “green” symbols or claim statements developed by manufacturers and service providers, an ecolabel is awarded by an impartial third-party in relation to certain products or services that are independently determined to meet environmental leadership criteria.
ISO menggolongkan Voluntary Environmental Performance Labelling – ke dalam tiga type sebagai berikut :
• Type I – a voluntary, multiple-criteria based, third party program that awards a license that authorizes the use of environmental labels on products
indicating overall environmental preferability of a product within a
particular product category based on life cycle considerations
• Type II — informative environmental self-declaration claims
• Type III — voluntary programs that provide quantified environmental data of a
product, under pre-set categories of parameters set by a qualified third
party and based on life cycle assessment, and verified by that or another
qualified third party
Dalam tahun 1995 didirikan GATS yaitu yang merupakan traktat dari WTO berdasarkan negosiasi Putaran Uruguay. GATS mencakup semua sektor dan kegiatan jasa kecuali jasa Pemerintah.Perkembangan dan kecenderungan ini menunjukkan bahwa globalisasi dan liberalisasi telah menjadi kenyataan dan keniscayaan yang dihadapi negara-negara di dunia saat ini. Globalisasi tersebut merupakan konsekuensi dari :
• Integrasi ekonomi ke dalam perekonomian dunia
• Liberalisasi perdagangan secara berkelanjutan dalam kerangka multilateral, regional dan bilateral
Namun demikian, untuk memberi kesiapan kepada negara-negara yang masih sedang berkembang, diusahakan agar :
• Liberalisasi dilaksanakan secara bertahap
• Mengacu kepada tujuan kebijakan nasional
• Pelaksanaannya secara berkelanjutan melalui perundingan-perundingan untuk menghasilkan dan mengikat komitmen
• Memperhatikan tingkat perkembangan pembangunan tiap negara.
BAB IV
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan sumber daya manusia harus selalu dikaitkan dengan alih teknologi, dan know how termasuk di dalamnya penguasaan manajemen dan teknologi informasi yang terkait. Karena itu, alih tehnologi yang sifatnya sukarela maupun mandatory seyogianya menjadi perhatian dari para pengambil keputusan ketika merancang kontrak dan kesepakatan dengan para investor asing yang menanamkan modalnya di industri host country.
Negara-negara yang beranjak maju (developing countries) menerapkan strategi meniru kemajuan teknologi dari negara-negara yang telah terlebih dahulu maju. Hal ini lebih mempercepat tingkat kemajuannya karena tidak perlu lagi merintis dari awal.
Dengan adanya kemajuan pesat dalam informasi teknologi dan komunikasi (ICT), lebih mempermudah lagi proses mengintegrasikan berbagai teknologi yang ada. Negara yang belakangan maju, berusaha melakukan inovasi dari teknologi yang telah ada dengan memanfaatkan kelebihan sumber daya lokal untuk keunggulan temuan dan modifikasi teknologinya. Industri VCD dan kendaraan pertanian di Cina adalah model yang memanfaatkan metode ini.
Empat prinsip dasar merupakan komponen penting yang perlu diperhatikan dalam menganut aplikasi dan pengembangan teknologi baru.
Keempat hal tersebut adalah :
1. Just-in-time investment strategy
2. Pengembangan teknologi dengan cara yang progresif dan inkremental
3. Sistem integrasi manufaktur berbasis manusia
4. Integrasi teknologi baru berbasis ICT
Untuk dapat mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang telah maju, maka prinsip-prinsip yang perlu dijaga adalah :
1. Mengakui dan menempatkan proses belajar dan meniru sebagai hal yang penting
2. Mengusahakan kebijakan yang memungkinkan adanya transfer teknologi
3. Memiliki strategi dari peniru (imitator) menjadi pembaharu (inovator)
4. Memanfaatkan keunggulan dan kearifan lokal
Akhirnya akses kepada dana, pasar dan pengalaman atau exposure berskala dunia akan membantu pengejaran ketertinggalan pembangunan sumber daya di negara-negara yang masih berkembang.
BAB V
Sistem Produksi berdasarkan sistem ekonomi global dan karakter lokal
Sistem produksi adalah sekumpulan unsur-unsur yang bekerja saling mendukung untuk tujuan bersama, yang terdiri atas konsep, metode dan teknik dengan input berupa sumber daya baik material resources, human resources dan technology and know-how based. Sistem ekonomi global bukanlah sistem yang bebas nilai dan mengikuti logika dan tarikan hukum sendiri. Sistem ekonomi global dalam tataran implementasinya seperti penanaman modal asing tetap tunduk kepada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah lokal dan nasional. Hanya, sebagaimana telah diungkapkan pada bab sebelumnya, aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah setempat harus memperhatikan standar, konvensi dan aturan umum yang berlaku dalam tata perdangangan dunia seperti yang dianut berdasarkan GATT dan WTO rules and regulations.Aturan-aturan lokal yang harus diikuti antara lain adalah seperti menyangkut perizinan industri, proses AMDAL, penyesuaian dengan tata ruang dan aturan khusus industri baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Apabila suatu usaha industri PMA memperoleh pinjaman dari sindikasi keuangan Internasional, maka selain dengan aturan yang dibuat host country, Perusahaan tersebut pun harus tunduk pada covenant dan terms and conditions yang terkait dengan loan itu. Beberapa covenants dan terms and conditions yang dewasa ini telah diperkenalkan secara intensif antara lain adalah :- Transparansi pengelolaan dan bebas dari bribery and unethical conduct- Audit lingkungan dan pemberdayaan masyarakat sekitar dalam bentuk pelibatan ataupun community development- Third party claim on damages serta strict liability atas kasus kasus tertentu yang membahayakan konsumen.Asas penting lainnya dalam sistem produksi global adalah jaminan, perlindungan, konsistensi dan kesetaraan hukum yang harus dibuat dan dijaga penerapannya oleh Host Government baik kepada investor asing maupun mitra lokalnya.
BAB VI
Teknologi Industri, Desain Produksi Industri, Rancang Bangun dan Perekayasaan Industri, dan Standardisasi
Ruang lingkup pembahasan pada topik ini sangat luas, yang meliputi :- Aspek-aspek hukum teknologi industri- Teknologi industri bersih lingkungan- Desain produksi industri dan HAKI- Integrated industrial pruduct control – product liability- Rancang bangun dan hukum- Rekayasa Industri, komponen luar negeri dan peraturan- Impor komponen dan kebebasan pajak- Dumping dan produk dalam negeri- StandardisasiDalam Undang-undang nomor 5 tahun 1984 tentang perindustrian pada pasal 16 dalam kaitannya dengan Teknologi Industri, Desain Produksi Industri, Rancang Bangun dan Perekayasaan Industri, dan Standardisasi diatur sebagai berikut :
1. Dalam menjalankan dan/atau mengembangkan bidang usaha industri, perusahaan industri menggunakan dan menciptakan teknologi industri yang tepat guna dengan memanfaatkan perangkat yang tersedia dan telah dikembangkan di dalam negeri.
2. Apabila perangkat teknologi industri yang diperlukan tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di dalam negeri, Pemerintah membantu pemilihan perangkat teknologi industri dari luar negeri yang diperlukan dan mengatur pengalihannya ke dalam negeri.
3. Pemilihan dan pengalihan teknologi industri dari luar negeri yang bersifat strategis dan diperlukan bagi pengembangan industri di dalam negeri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Alih teknologi dari luar negeri yang pengaturannya lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah harus memperhatikan aspek HAKI, treaty, konvensi dan kebiasaan yang berlaku dalam hubungan perdagangan internasional.
BAB VII
Wilayah Industri dan konsep kawasan Industri
Salah satu aspek penting dalam konsep pengelolaan konsep kawasan industri adalah yang terkait dengan konsep hukum perencanaan. Konsep ini pada prinsipnya menganut asas keterbukaan, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat, yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip berikut :’
1. Adequate publicity : Pemberitahuan secara luas mengenai rencana pembangunan wilayah kepada masyarakat
2. Adequate opportunity : Setiap pihak diberikan hak mengajukan saran/gagasan/ keberatan terhadap rencana kepada pihak yang berwenang (decision maker)
3. Saran/gagasan/keberatan harus dipertimbangkan secara layak
4. Examination in public by taking into account of public inquiry
Keempat unsur di atas adalah konsep yang ideal dalam melaksanakan pembangunan yang partisipatif. Namun demikian, hal tersebut hanya akan menjadi produktif dan tidak kontraproduktif apabila didukung dengan kesadaran yang tinggi dari masyarakat, serta aparat birokrasi dan aparat penegak hukum. Pemanfaatan loophole peraturan misalnya dapat menjadi kontraproduktif yang sebagian diperparah oleh nasihat hukum yang bias. Kasus ini dapat terlihat dari berlarut-larutnya pembebasan jalan tol JORR hanya karena segelintir orang yang tidak bersedia dalam scheme pembebasan tanah yang ditawarkan Pemerintah. Kasus pembebasan BKT di Jakarta Timur adalah contoh lain, dimana akomodasi yang berlebihan dari Pemerintah terhadap penghuni areal yang akan dibebaskan justru mengakibatkan pembebasan lahan tersebut jadi berlarut-larut. Apabila aparat birokrasi Pemerintah memegang good governance dan pertanggungjawaban publik yang benar maka perencanaan kawasan akan lebih mudah dilaksanakan sehingga terdapat zoning yang tepat antara kawasan industri, perumahan, publik maupun wilayah terbuka. Akhirnya partisipasi masyarakat akan dianggap sebagai sesuatu yang positif karena ada mekanisme check and balance dan saluran baku penyelesaian sengketa manakala kepentingan satu pihak berbenturan dengan akibat dari penataan kawasan.
BAB VIII
Industri dalam hubungannya dengan SDA dan lingkungan hidup
Amdal dalam sistem PerijinanDalam Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolalan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa AMDAL atau Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;AMDAL dalam sistem perijinan merupakan pendekatan dalam sistem perizinan industri yang bersifat kompleks. Ruang lingkup dan cakupan AMDAL meliputi :- Sistem pelaporan sebagai sarana pemantauan kinerja kegiatan- Pemantauan oleh perusahaan, instansi Pemerintahdan masyarakat- Laporan berkala sebagai alat evaluasi kinerja perusahaan kepada stakeholders- Laporan dan tanggungjawab publik- Compliance monitoring dan pengembangan kebijakan.Terhadap jenis usaha tertentu hanya akan diberikan izin usaha apabila telah melewati dan memperoleh persyaratan AMDAL. Persyaratan tersebut mengandung sejumlah standar yang dapat diuji secara ilmiah dan harus dimonitor secara berkala pelaksanaannya. Dari analisis cost benefit, AMDAL sebaiknya tidak semata-mata dipandang sebagai cost dan kerumitan birokrasi, tetapi juga adalah merupakan asset karena penataan dan pengelolaan lingkungan yang baik akan menjamin dapat beroperasinya secara sustainabel suatu Perusahaan untuk jangka panjang. Sedangkan apabila ada pelanggaran yang signifikan, selain izin usaha dapat dicabut, secara pidana dapat dikenai tuntutan perusakan lingkungan, dan secara perdata sesuai pasal 35 dapat dikenai strict liability dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
BAB IX
Penyerahan Kewenangan Usaha
Hal-hal yang menjadi pokok perhatian dalam penyerahan kewenangan usaha dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah sebagai buah dari reformasi dan otonomi daerah adalah :
1. Implikasi kewenangan daerah dan Pemda dalam proses industrialisasi
2. Desentralisasi proses pengambilan keputusan tentang kegiatan/ usaha
3. Investasi & kerjasama internasional secara langsung
4. Tantangan industrialisasi dan masalah Pendapatan Asli Daerah
5. Alih teknologi dan peluang kerja
Masalah PAD memerlukan perhatian yang serius karena sebagai dampak dari demokrasi jangka pendek (ketidakpastian kelanjutan incumbent local government to govern) dapat memberikan tekanan yang tidak seimbang dan berlebihan dengan pemberian ijin yang tidak mempertimbangkan daya tahan lingkungan. Izin-ijin kehutanan, pertambangan, pembangunan permukiman dan sebagainya adalah bidang-bidang yang rawan tergoda untuk diumbar pengeksploitasiannya. Karena itu, sosialisasi konsep pembangunan industri berkelanjutan (sustainable way of life) adalah mutlak untuk ditanamkan kesadarannya kepada Pemerintah Daerah. Dalam kaitannya dengan kesadaran perlindungan lingkungan, pemberian kewenangan yang terlalu longgar kepada Pemerintah Daerah memberikan dampak dilematis. Mengingat sistem demokrasi kita yang masih muda di alam reformasi ini, ketiadaan jaminan kelangsungan Pemerintahan untuk satu dua periode mengakibatkan penguasa daerah sering terlalu berwawasan sempit dan jangka pendek serta terjebak dalam pragmatisme populer untuk mendapatkan PAD yang lebih besar. Dalam konteks inilah Pemerintah Pusat harus aktif dan firm dalam menerapkan standar minimal pengelolaan lingkungan yang menjadi pedoman bagi Pemda dalam mengelola kewenangan perijinan yang dipunyainya.
BAB X
Tanggungjawab Negara dalam resource-based industry
Resource-based industry adalah industri yang bertumpu kepada kekayaan alam atau sumber daya yang ada pada suatu negara. Sumber daya tersebut ada yang bersifat terbarukan (renewable resources dan ada yang bersifat tidak terbarukan (non renewable resources). Contoh-contoh industri yang bertumpu pada sumber daya antara lain adalah yang bergerak di bidang pertambangan, kehutanan dan perikanan. Resource-based industry memiliki setidak-tidaknya dua ciri dasar yaitu :
1. Industri tersebut adalah bersifat jangka panjang, padat modal
2. Industri tersebut rawan terhadap kerusakan lingkungan
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah sebagai pemegang mandat dan amanat demokrasi mengemban tugas yang harus dapat mengotimalkan ketiga simpul berikut :
1. Menjaga iklim investasi yang kondusif
2. Menjaga keseimbangan dan kepentingan masyarakat lokal, regional dan nasional
3. Membuka peluang usaha untuk tetap sustainabel dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Untuk dapat mengemban tugas dan tanggung jawab di atas maka dari sisi Perundang-undangan Pemerintah perlu mempersiapkan peraturan yang terkait dengan :
1. Pokok-pokok industri
2. Pengelolaan lingkungan hidup
3. Mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui litigasi atau alternative dispute resolution
Sebagai host government yang bertanggungjawab, Pemerintah juga harus mampu melindungi modal asing yang masuk di negaranya, tanpa harus memberikan pemihakan berlebihan kepada modal asing yang membuat masyarakat sekitar teralineasi, terpinggirkan dan teralineasi. Keseimbangan yang demikianlah diharapkan dari Pemerintah sebagai fasilitator dalam perekonomian Nasional.
Sumber : http://maspurba.wordpress.com/hukum-industri/
Tinjauan Umum Pembangunan Industri Dalam Konsep/ Teori Pembangunan
Landasan teoretis konsep pembangunan dalam proses industrialisasi berevolusi mulai dari hanya yang menekankan kepada pertumbuhan hingga mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat setempat sebagai berikut :
1. Growth model development concept, yang menekankan pada peran GNP dan Pendapatan Per Kapita
2. Economic growth and social change model development concept , yang menyatakan bahwa agar masyarakat dipersiapkan dengan peningkatan kemampuan masyarakat agar tidak tertinggal dan tergilas oleh modernisasi dan industrialisasi
3. Ethical value model of development concept, yang menyatakan bahwa disamping penyiapan masyarakat perlu juga memastikan agar nilai-nilai dasar, ideologi dan budaya masyarakat setempat tidak terserabut tetapi agar memberikan nilai tambah dalam kontribusi pembangunan.
Hukum dan proses pembangunan memiliki kaitan yang erat. Perancangan, perumusan dan analisis hukum memerlukan tools non hukum yang sifatnya multidisciplinary, seperti GIS, standardisasi, AMDAL, hukum pasar modal dan lain-lain. Untuk tercapainya keunggulan kompetitif suatu negara, maka sumber daya yang dimiliki seperti sumber daya alam, lingkungan, potensi geografis dan lain-lain perlu dioptimalkan dan dikombinasikan dengan IPTEK, ketersediaan softlaw berupa perangkat peraturan yang memadai dan mendukung kondusivitas investasi, dengan tetap menjaga dan membangun kesadaran perlindungan lingkungan ( environment conservatory awareness) demi tetap terjaganya konsep pembangunan industri yang berkelanjutan dalam perspektif global dan lokal. Pengandalan hanya kepada keunggulan kompetitif berdasarkan sumber daya (resource based development) dalam konteks persaingan global tidak sepenuhnya lagi dapat diandalkan. Karena itu knowledge based industri dalam bentuk penguasaan IPTEK, perlindungan Intellectual Property Rights harus dikemas dan dimaintain dalam skala yang optimal untuk tetap survive dalam persaingan dunia yang borderless dengan tetap melibatkan potensi kearifan lokal masyarakat.
BAB II
Potret masalah industri dan konsep pembangunan industri
Gambaran empiris tentang land market dan lokasi industri melibatkan berbagai faktor seperti masalah pertanahan, perburuhan/ tenaga kerja, modal, ekologi dan lain-lain. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam bidang ini antara lain adalah seperti pilihan lokasi industri yang dikaitkan dengan harga tanah, ketersediaan infrastruktur, konsumen dan respon masyarakat sekitar. Hal tersebut utamanya adalah dari perspektif pengusaha yang dituntut untuk memaksimalkan profit dan shareholder value. Pemerintah (host government) seyogianya tidak boleh hanya terpaku pada perspektif dan sudut pandang pengusaha semata, tetapi harus tetap dalam koridor misinya untuk mensejahterakan rakyat.Pemerintahan yang cerdas harus dapat memanfaatkan investasi yang masuk ke negaranya untuk menata dan merestrukturisasi perimbangan perekonomian masyarakat. Hal ini dapat dilakukan apabila pemerintah suatu negara memiliki visi yang jelas dalam tahapan maupun pilihan industri yang akan dikembangkan (center of excellence). Pemerintah memiliki legitimasi dan instrumen yang memadai untuk hal itu dalam bentuk antara lain :a. Pembuatan aturan yang dapat memberikan insentif atau disinsentif fiskal untuk pengendalian harga tanah di lokasi tertentub. Penyebaran sentra-sentra pembangunan (developing growth center)c. Insentif finansial sebagai upaya untuk mendorong pembangunan kawasan yang dikehendakid. Penegakan hukum secara tegas dan bijaksanaHal-hal tersebut di atas akan dapat diwujudkan apabila Pemerintah dapat bersinergi secara positif dengan dunia usaha (di Indonesia misalnya diwakili oleh asosiasi KADIN), mendapatkan legitimasi dan dukungan kuat dari suprastruktur serta amanah dalam menjalankan mandat demokratis yang melandasi pemerintahannya. Skala prioritas mutlak diperlukan untuk fokus kepada jenis industri tertentu yang pada gilirannya diharapkan dapat menjadi penggerak dan stimulan untuk pengembangan geliat sektor ekonomi lainnya. Masyarakat industri tidak dapat diciptakan dengan seketika. Hal tersebut adalah merupakan puncak dari amalgamasi dan pencapaian cerdas dari keuletan Pemerintah, bersama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam merumuskan, menjalankan dan mengevaluasi agenda dan set of vision yang clear mengenai potret dan arah industrialisasi yang diinginkan.
BAB III
Sistem Hukum Industri dan Perkembangannya dalam sistem hukum global
Sistem hukum industri memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks serta multidisciplinary, yaitu menyangkut anasir-anasir berikut :
• Hukum sebagai sarana pembaharuan/ pembangunan di bidang industri dalam perspektif ilmu-ilmu yang lain
• Hukum industri dalam sistem kawasan berdasarkan hukum tata ruang
• Hukum industri dalam sistem perizinan yang bersifat lintas lembaga dan yurisdiksi hukum industri dalam perspektif global dan lokal
• Hukum alih teknologi, desain produksi dan hukum konstruksi serta standardisasi
• Masalah tanggungjawab dalam sistem hukum industri
• Pergeseran hudaya hukum dari ‘ command and control’ ke ‘self-regulatory system’ untuk mengurangi ongkos birokrasi
Keterkaitan industri lokal dengan aturan main di industri global merupakan sebuah keniscayaan. Adanya GATT dan WTO yang merupakan wadah yang mengatur tata industri baru di dunia memaksa setiap negara yang apabila ingin ikut berpartisipasi dalam pusaran pergerakan ekonomi dunia harus menyesuaikan perangkat hukum dan standarisasi industrinya. Beberapa system hukum global yang harus diadopt dunia antara lain adalah aturan WTO mengenai penundukan sukarela terhadap aturan kelembagaan dunia, ketaatan kepada ketentuan mengenai tarif dan hambatan non tarif, ketentuan-ketentuan mengenai objek sengketa dan mekanisme penyelesaian sengketa, standardisasi dan penghormatan terhadap putusan hukum arbitrase.Interaksi dalam pergaulan nasional terhadap global mempengaruhi sistem hukum termasuk pengembangan sistem hukum nasional. Peran panel ahli menjadi lebih menonjol dibandingkan dengan peran birokrasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Muara daripada perkembangan sistem hukum adalah mendorong industrial self-regulatory system, sementara sistem hukum publik diharapkan hanya terbatas untuk mengatur tata lintas hukum perdata internasional, dan menjadi fasilitator dalam pengembangan tata dunia baru yang modern dan almost borderless. Kemajuan teknologi komunikasi memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan sistem hukum dan tata dunia baru tersebut.
Konsep dasar Undang-undang Penataan Ruang
Penataan ruang di Indonesia diatur dalam Undang-undang. Undang-undang itu berkembang secara dinamis untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan industri. Undang-undang tata ruang berkembang secara dinamis.Undang-undang tata ruang nomor 24 tahun 1992 merupakan pengganti dari Ordonansi Pembentukan Kota (Stadvormingsordonantie Staatblad Tahun 1948 Nomor 168, keputusan letnan Gubernur jenderal tanggal 23 Juli 1948 no. 13).[1] Kemudian dengan Undang-undang nomor 26 tahun 2007, undang-undang tata ruang diperbaharui kembali. Pertimbangan yang mendasar terkait dengan Undang-undang Penataan Ruang adalah :
1. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa perkembangan situasi dan kondisi nasional dan internasional menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraa penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan idiil Pancasila;c. bahwa untuk memperkukuh Ketahanan Nasional berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan tersebut perlu diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan antar daerah;d. bahwa keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang sehingga diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;e. bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan;Tata ruang dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.Adapun kawasan-kawasan peruntukan tata ruang dibedakan dengan kawasan lindung, kawasan budi daya, kawasan perdesaan, kawasan agropolitan, kawasan perkotaan, kawasan metropolitan, kawasan megapolitan, kawasan strategis nasional – provinsi – dan kabupaten kota. Dengan adanya pengaturan yang terstruktur seperti itu diharapkan kualitas lingkungan tetap terjaga baik untuk kepentingan generasi yang sekarang maupun yang akan datang. . Industri dalam Sistem Perdagangan Bebas Sistem Perdagangan Dunia dewasa ini diatur dalam mekanisme WTO (World TradeOrganization). Organisasi Perdagangan Dunia (bahasa Inggris: WTO, World Trade Organization) adalah organisasi internasional yang mengawasi banyak persetujuan yang mendefinisikan “aturan perdagangan” di antara anggotanya (WTO, 2004a). Didirikan pada 1 Januari 1995 untuk menggantikan GATT, persetujuan setelah Perang Dunia II untuk meniadakan hambatan perdagangan internasional. Prinsip dan persetujuan GATT diambil oleh WTO, yang bertugas untuk mendaftar dan memperluasnya.Dalam penetapan standar industri, prinsip-prinsip WTO adalah : • transparency, • non-discrimination, • mutual recognition, • equivalence and • harmonizationPenetapan standar dalam industri diperlukan untuk : • Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; • Membantu kelancaran perdagangan; • Mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan.Organisasi yang berkecimpung dalam standardisasi ada yang bersifat lokal, nasional dan regional dan global. Badan standar di dunia yang paling luas dikenal adalah Organisasi Internasional untuk Standardisasi (International Organization for Standardization (ISO atau Iso)) adalah badan penetap standar internasional yang terdiri dari wakil-wakil dari badan standar nasional setiap negara. Kesadaran lingkungan global menghasilkan kesadaran sukarela para pelaku industri untuk tidak hanya sekedar mendapatkan ISO tetapi juga bergerak ke arah ecolabelling. “Ecolabelling” is a voluntary method of environmental performance certification and labelling that is practised around the world. An “ecolabel” is a label which identifies overall environmental preference of a product or service within a specific product/service category based on life cycle considerations. In contrast to “green” symbols or claim statements developed by manufacturers and service providers, an ecolabel is awarded by an impartial third-party in relation to certain products or services that are independently determined to meet environmental leadership criteria.
ISO menggolongkan Voluntary Environmental Performance Labelling – ke dalam tiga type sebagai berikut :
• Type I – a voluntary, multiple-criteria based, third party program that awards a license that authorizes the use of environmental labels on products
indicating overall environmental preferability of a product within a
particular product category based on life cycle considerations
• Type II — informative environmental self-declaration claims
• Type III — voluntary programs that provide quantified environmental data of a
product, under pre-set categories of parameters set by a qualified third
party and based on life cycle assessment, and verified by that or another
qualified third party
Dalam tahun 1995 didirikan GATS yaitu yang merupakan traktat dari WTO berdasarkan negosiasi Putaran Uruguay. GATS mencakup semua sektor dan kegiatan jasa kecuali jasa Pemerintah.Perkembangan dan kecenderungan ini menunjukkan bahwa globalisasi dan liberalisasi telah menjadi kenyataan dan keniscayaan yang dihadapi negara-negara di dunia saat ini. Globalisasi tersebut merupakan konsekuensi dari :
• Integrasi ekonomi ke dalam perekonomian dunia
• Liberalisasi perdagangan secara berkelanjutan dalam kerangka multilateral, regional dan bilateral
Namun demikian, untuk memberi kesiapan kepada negara-negara yang masih sedang berkembang, diusahakan agar :
• Liberalisasi dilaksanakan secara bertahap
• Mengacu kepada tujuan kebijakan nasional
• Pelaksanaannya secara berkelanjutan melalui perundingan-perundingan untuk menghasilkan dan mengikat komitmen
• Memperhatikan tingkat perkembangan pembangunan tiap negara.
BAB IV
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan sumber daya manusia harus selalu dikaitkan dengan alih teknologi, dan know how termasuk di dalamnya penguasaan manajemen dan teknologi informasi yang terkait. Karena itu, alih tehnologi yang sifatnya sukarela maupun mandatory seyogianya menjadi perhatian dari para pengambil keputusan ketika merancang kontrak dan kesepakatan dengan para investor asing yang menanamkan modalnya di industri host country.
Negara-negara yang beranjak maju (developing countries) menerapkan strategi meniru kemajuan teknologi dari negara-negara yang telah terlebih dahulu maju. Hal ini lebih mempercepat tingkat kemajuannya karena tidak perlu lagi merintis dari awal.
Dengan adanya kemajuan pesat dalam informasi teknologi dan komunikasi (ICT), lebih mempermudah lagi proses mengintegrasikan berbagai teknologi yang ada. Negara yang belakangan maju, berusaha melakukan inovasi dari teknologi yang telah ada dengan memanfaatkan kelebihan sumber daya lokal untuk keunggulan temuan dan modifikasi teknologinya. Industri VCD dan kendaraan pertanian di Cina adalah model yang memanfaatkan metode ini.
Empat prinsip dasar merupakan komponen penting yang perlu diperhatikan dalam menganut aplikasi dan pengembangan teknologi baru.
Keempat hal tersebut adalah :
1. Just-in-time investment strategy
2. Pengembangan teknologi dengan cara yang progresif dan inkremental
3. Sistem integrasi manufaktur berbasis manusia
4. Integrasi teknologi baru berbasis ICT
Untuk dapat mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang telah maju, maka prinsip-prinsip yang perlu dijaga adalah :
1. Mengakui dan menempatkan proses belajar dan meniru sebagai hal yang penting
2. Mengusahakan kebijakan yang memungkinkan adanya transfer teknologi
3. Memiliki strategi dari peniru (imitator) menjadi pembaharu (inovator)
4. Memanfaatkan keunggulan dan kearifan lokal
Akhirnya akses kepada dana, pasar dan pengalaman atau exposure berskala dunia akan membantu pengejaran ketertinggalan pembangunan sumber daya di negara-negara yang masih berkembang.
BAB V
Sistem Produksi berdasarkan sistem ekonomi global dan karakter lokal
Sistem produksi adalah sekumpulan unsur-unsur yang bekerja saling mendukung untuk tujuan bersama, yang terdiri atas konsep, metode dan teknik dengan input berupa sumber daya baik material resources, human resources dan technology and know-how based. Sistem ekonomi global bukanlah sistem yang bebas nilai dan mengikuti logika dan tarikan hukum sendiri. Sistem ekonomi global dalam tataran implementasinya seperti penanaman modal asing tetap tunduk kepada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah lokal dan nasional. Hanya, sebagaimana telah diungkapkan pada bab sebelumnya, aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah setempat harus memperhatikan standar, konvensi dan aturan umum yang berlaku dalam tata perdangangan dunia seperti yang dianut berdasarkan GATT dan WTO rules and regulations.Aturan-aturan lokal yang harus diikuti antara lain adalah seperti menyangkut perizinan industri, proses AMDAL, penyesuaian dengan tata ruang dan aturan khusus industri baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Apabila suatu usaha industri PMA memperoleh pinjaman dari sindikasi keuangan Internasional, maka selain dengan aturan yang dibuat host country, Perusahaan tersebut pun harus tunduk pada covenant dan terms and conditions yang terkait dengan loan itu. Beberapa covenants dan terms and conditions yang dewasa ini telah diperkenalkan secara intensif antara lain adalah :- Transparansi pengelolaan dan bebas dari bribery and unethical conduct- Audit lingkungan dan pemberdayaan masyarakat sekitar dalam bentuk pelibatan ataupun community development- Third party claim on damages serta strict liability atas kasus kasus tertentu yang membahayakan konsumen.Asas penting lainnya dalam sistem produksi global adalah jaminan, perlindungan, konsistensi dan kesetaraan hukum yang harus dibuat dan dijaga penerapannya oleh Host Government baik kepada investor asing maupun mitra lokalnya.
BAB VI
Teknologi Industri, Desain Produksi Industri, Rancang Bangun dan Perekayasaan Industri, dan Standardisasi
Ruang lingkup pembahasan pada topik ini sangat luas, yang meliputi :- Aspek-aspek hukum teknologi industri- Teknologi industri bersih lingkungan- Desain produksi industri dan HAKI- Integrated industrial pruduct control – product liability- Rancang bangun dan hukum- Rekayasa Industri, komponen luar negeri dan peraturan- Impor komponen dan kebebasan pajak- Dumping dan produk dalam negeri- StandardisasiDalam Undang-undang nomor 5 tahun 1984 tentang perindustrian pada pasal 16 dalam kaitannya dengan Teknologi Industri, Desain Produksi Industri, Rancang Bangun dan Perekayasaan Industri, dan Standardisasi diatur sebagai berikut :
1. Dalam menjalankan dan/atau mengembangkan bidang usaha industri, perusahaan industri menggunakan dan menciptakan teknologi industri yang tepat guna dengan memanfaatkan perangkat yang tersedia dan telah dikembangkan di dalam negeri.
2. Apabila perangkat teknologi industri yang diperlukan tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di dalam negeri, Pemerintah membantu pemilihan perangkat teknologi industri dari luar negeri yang diperlukan dan mengatur pengalihannya ke dalam negeri.
3. Pemilihan dan pengalihan teknologi industri dari luar negeri yang bersifat strategis dan diperlukan bagi pengembangan industri di dalam negeri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Alih teknologi dari luar negeri yang pengaturannya lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah harus memperhatikan aspek HAKI, treaty, konvensi dan kebiasaan yang berlaku dalam hubungan perdagangan internasional.
BAB VII
Wilayah Industri dan konsep kawasan Industri
Salah satu aspek penting dalam konsep pengelolaan konsep kawasan industri adalah yang terkait dengan konsep hukum perencanaan. Konsep ini pada prinsipnya menganut asas keterbukaan, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat, yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip berikut :’
1. Adequate publicity : Pemberitahuan secara luas mengenai rencana pembangunan wilayah kepada masyarakat
2. Adequate opportunity : Setiap pihak diberikan hak mengajukan saran/gagasan/ keberatan terhadap rencana kepada pihak yang berwenang (decision maker)
3. Saran/gagasan/keberatan harus dipertimbangkan secara layak
4. Examination in public by taking into account of public inquiry
Keempat unsur di atas adalah konsep yang ideal dalam melaksanakan pembangunan yang partisipatif. Namun demikian, hal tersebut hanya akan menjadi produktif dan tidak kontraproduktif apabila didukung dengan kesadaran yang tinggi dari masyarakat, serta aparat birokrasi dan aparat penegak hukum. Pemanfaatan loophole peraturan misalnya dapat menjadi kontraproduktif yang sebagian diperparah oleh nasihat hukum yang bias. Kasus ini dapat terlihat dari berlarut-larutnya pembebasan jalan tol JORR hanya karena segelintir orang yang tidak bersedia dalam scheme pembebasan tanah yang ditawarkan Pemerintah. Kasus pembebasan BKT di Jakarta Timur adalah contoh lain, dimana akomodasi yang berlebihan dari Pemerintah terhadap penghuni areal yang akan dibebaskan justru mengakibatkan pembebasan lahan tersebut jadi berlarut-larut. Apabila aparat birokrasi Pemerintah memegang good governance dan pertanggungjawaban publik yang benar maka perencanaan kawasan akan lebih mudah dilaksanakan sehingga terdapat zoning yang tepat antara kawasan industri, perumahan, publik maupun wilayah terbuka. Akhirnya partisipasi masyarakat akan dianggap sebagai sesuatu yang positif karena ada mekanisme check and balance dan saluran baku penyelesaian sengketa manakala kepentingan satu pihak berbenturan dengan akibat dari penataan kawasan.
BAB VIII
Industri dalam hubungannya dengan SDA dan lingkungan hidup
Amdal dalam sistem PerijinanDalam Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolalan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa AMDAL atau Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;AMDAL dalam sistem perijinan merupakan pendekatan dalam sistem perizinan industri yang bersifat kompleks. Ruang lingkup dan cakupan AMDAL meliputi :- Sistem pelaporan sebagai sarana pemantauan kinerja kegiatan- Pemantauan oleh perusahaan, instansi Pemerintahdan masyarakat- Laporan berkala sebagai alat evaluasi kinerja perusahaan kepada stakeholders- Laporan dan tanggungjawab publik- Compliance monitoring dan pengembangan kebijakan.Terhadap jenis usaha tertentu hanya akan diberikan izin usaha apabila telah melewati dan memperoleh persyaratan AMDAL. Persyaratan tersebut mengandung sejumlah standar yang dapat diuji secara ilmiah dan harus dimonitor secara berkala pelaksanaannya. Dari analisis cost benefit, AMDAL sebaiknya tidak semata-mata dipandang sebagai cost dan kerumitan birokrasi, tetapi juga adalah merupakan asset karena penataan dan pengelolaan lingkungan yang baik akan menjamin dapat beroperasinya secara sustainabel suatu Perusahaan untuk jangka panjang. Sedangkan apabila ada pelanggaran yang signifikan, selain izin usaha dapat dicabut, secara pidana dapat dikenai tuntutan perusakan lingkungan, dan secara perdata sesuai pasal 35 dapat dikenai strict liability dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
BAB IX
Penyerahan Kewenangan Usaha
Hal-hal yang menjadi pokok perhatian dalam penyerahan kewenangan usaha dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah sebagai buah dari reformasi dan otonomi daerah adalah :
1. Implikasi kewenangan daerah dan Pemda dalam proses industrialisasi
2. Desentralisasi proses pengambilan keputusan tentang kegiatan/ usaha
3. Investasi & kerjasama internasional secara langsung
4. Tantangan industrialisasi dan masalah Pendapatan Asli Daerah
5. Alih teknologi dan peluang kerja
Masalah PAD memerlukan perhatian yang serius karena sebagai dampak dari demokrasi jangka pendek (ketidakpastian kelanjutan incumbent local government to govern) dapat memberikan tekanan yang tidak seimbang dan berlebihan dengan pemberian ijin yang tidak mempertimbangkan daya tahan lingkungan. Izin-ijin kehutanan, pertambangan, pembangunan permukiman dan sebagainya adalah bidang-bidang yang rawan tergoda untuk diumbar pengeksploitasiannya. Karena itu, sosialisasi konsep pembangunan industri berkelanjutan (sustainable way of life) adalah mutlak untuk ditanamkan kesadarannya kepada Pemerintah Daerah. Dalam kaitannya dengan kesadaran perlindungan lingkungan, pemberian kewenangan yang terlalu longgar kepada Pemerintah Daerah memberikan dampak dilematis. Mengingat sistem demokrasi kita yang masih muda di alam reformasi ini, ketiadaan jaminan kelangsungan Pemerintahan untuk satu dua periode mengakibatkan penguasa daerah sering terlalu berwawasan sempit dan jangka pendek serta terjebak dalam pragmatisme populer untuk mendapatkan PAD yang lebih besar. Dalam konteks inilah Pemerintah Pusat harus aktif dan firm dalam menerapkan standar minimal pengelolaan lingkungan yang menjadi pedoman bagi Pemda dalam mengelola kewenangan perijinan yang dipunyainya.
BAB X
Tanggungjawab Negara dalam resource-based industry
Resource-based industry adalah industri yang bertumpu kepada kekayaan alam atau sumber daya yang ada pada suatu negara. Sumber daya tersebut ada yang bersifat terbarukan (renewable resources dan ada yang bersifat tidak terbarukan (non renewable resources). Contoh-contoh industri yang bertumpu pada sumber daya antara lain adalah yang bergerak di bidang pertambangan, kehutanan dan perikanan. Resource-based industry memiliki setidak-tidaknya dua ciri dasar yaitu :
1. Industri tersebut adalah bersifat jangka panjang, padat modal
2. Industri tersebut rawan terhadap kerusakan lingkungan
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah sebagai pemegang mandat dan amanat demokrasi mengemban tugas yang harus dapat mengotimalkan ketiga simpul berikut :
1. Menjaga iklim investasi yang kondusif
2. Menjaga keseimbangan dan kepentingan masyarakat lokal, regional dan nasional
3. Membuka peluang usaha untuk tetap sustainabel dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Untuk dapat mengemban tugas dan tanggung jawab di atas maka dari sisi Perundang-undangan Pemerintah perlu mempersiapkan peraturan yang terkait dengan :
1. Pokok-pokok industri
2. Pengelolaan lingkungan hidup
3. Mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui litigasi atau alternative dispute resolution
Sebagai host government yang bertanggungjawab, Pemerintah juga harus mampu melindungi modal asing yang masuk di negaranya, tanpa harus memberikan pemihakan berlebihan kepada modal asing yang membuat masyarakat sekitar teralineasi, terpinggirkan dan teralineasi. Keseimbangan yang demikianlah diharapkan dari Pemerintah sebagai fasilitator dalam perekonomian Nasional.
Sumber : http://maspurba.wordpress.com/hukum-industri/
Dasar-Dasar Hukum Industri
1. Dasar Hukum Industri
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Penimbunan Berikat jo. Peraturan pemerintah No. 43 Tahun 1997 tentang penyempurnaan PP No. 33/1996; Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997 sebagaimana diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 349/KMK.01/1999 tanggal 24 Juni 1999; Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. KEP-63/BC/1997 tanggal 25 Juli 1997; Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai
Nomor SE-10/BC/1997 tanggal 18 Maret 1998.
2. Pengertian
Kawasan Berikat (KB) adalah suatu bangunan/kawasan dengan batas-batas tertentu yang didalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, rancang bangun, rekayasa, penyortiran, pemeriksaan awal/akhir, pengepakan atas barang asal impor atau lokal yang hasilnya terutama untuk ekspor.
Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) adalah badan hukum yang memiliki, penguasai, mengolah dan menyediakan sarana/prasarana guna keperluan pihak lain, berdasarkan persetujuan menyelenggarakan Kawasan Berikat.
Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB) adalah PT atau Koperasi yang melaksanakan usaha industri di Kawasan Berikat.
3. Fasilitas Yang Diberikan
1. Penangguhan Bea Masuk, Tidak Dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor atas :
a. Impor barang modal/peralatan perkantoran yang semata-mata dipakai PKB/PKB merangkap PDKB;
b. Impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB;
c. Impor barang/bahan untuk diolah di PDKB.
2. Pembebasan cukai atas pemasukan dari DPIL untuk diolah lebih lanjut;
3. Pembebasan bea masuk dan cukai serta tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh pasal 22 Impor atas pengeluaran yang ditujukan kepada pihak yang memperoleh fasilitas pembebasan;
4. Tidak dipungut PPN dan PPnBM atas :
a. Pemasukan BKP dari DPIL untuk diolah lebih lanjut;
b. Pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lain untuk diolah lebih lanjut;
c. Pengeluaran barang/bahan ke perusahaan industri di DPIL/PDKB lain dalam rangka
subkontrak;
d. Penyerahan kembali BKP hasil subkontrak oleh PKP di DPIL/PDKB lain kepada PDKB asal;
e. Peminjaman mesin/peralatan pabrik dalam rangka subkontrak kepada perusahaan industri di DPIL/PDKB lain dan pengembaliannya ke PDKB asal.
5. Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan terhadap barang yang diekspor;
6. Barang modal berupa mesin asal impor apabila telah melampaui jangka waktu dua tahun sejak pengimporannya atau sejak menjadi aset perusahaan dapat dipindahtangankan dengan tanpa kewajiban membayar bea masuk yang terutang;
7. PDKB yang termasuk dalam Daftar Putih dapat mempertaruhkan jaminan berupa SSB kepada KPBC yang bersangkutan untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari PDKB yang dipersyaratkan untuk mempertaruhkan jaminan;
8. PDKB dapat mensubkontrakkan sebagian kegiatan pengolahannya kecuali pekerjaan pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, penyortiran dan pengepakan kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya;
9. Mesin/peralatan pabrik yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan pekerjaaan subkontrak dapat dipinjamkan oleh PDKB kepada PDKB lainnya atau sukkontrak di DPIL untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama dua kali 12 (dua belas) bulan;
10. Pengeluaran barang jadi berupa komponen (barang yang akan digabung dengan barang lain dalam perakitan untuk menghasilkan barang berderajat lebih tinggi dan sifat hakikinya berbeda dari produk semula) ke DPIL diperkenankan hingga sebesar 100 % dan untuk barang jadi lainnya sebesar 50 % dari nilai realisasi ekspor atau pengeluaran ke PDKB lainnya yang telah dilakukan.
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Penimbunan Berikat jo. Peraturan pemerintah No. 43 Tahun 1997 tentang penyempurnaan PP No. 33/1996; Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997 sebagaimana diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 349/KMK.01/1999 tanggal 24 Juni 1999; Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. KEP-63/BC/1997 tanggal 25 Juli 1997; Surat Edaran Direktur Jenderal Bea dan Cukai
Nomor SE-10/BC/1997 tanggal 18 Maret 1998.
2. Pengertian
Kawasan Berikat (KB) adalah suatu bangunan/kawasan dengan batas-batas tertentu yang didalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, rancang bangun, rekayasa, penyortiran, pemeriksaan awal/akhir, pengepakan atas barang asal impor atau lokal yang hasilnya terutama untuk ekspor.
Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) adalah badan hukum yang memiliki, penguasai, mengolah dan menyediakan sarana/prasarana guna keperluan pihak lain, berdasarkan persetujuan menyelenggarakan Kawasan Berikat.
Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB) adalah PT atau Koperasi yang melaksanakan usaha industri di Kawasan Berikat.
3. Fasilitas Yang Diberikan
1. Penangguhan Bea Masuk, Tidak Dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor atas :
a. Impor barang modal/peralatan perkantoran yang semata-mata dipakai PKB/PKB merangkap PDKB;
b. Impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB;
c. Impor barang/bahan untuk diolah di PDKB.
2. Pembebasan cukai atas pemasukan dari DPIL untuk diolah lebih lanjut;
3. Pembebasan bea masuk dan cukai serta tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh pasal 22 Impor atas pengeluaran yang ditujukan kepada pihak yang memperoleh fasilitas pembebasan;
4. Tidak dipungut PPN dan PPnBM atas :
a. Pemasukan BKP dari DPIL untuk diolah lebih lanjut;
b. Pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lain untuk diolah lebih lanjut;
c. Pengeluaran barang/bahan ke perusahaan industri di DPIL/PDKB lain dalam rangka
subkontrak;
d. Penyerahan kembali BKP hasil subkontrak oleh PKP di DPIL/PDKB lain kepada PDKB asal;
e. Peminjaman mesin/peralatan pabrik dalam rangka subkontrak kepada perusahaan industri di DPIL/PDKB lain dan pengembaliannya ke PDKB asal.
5. Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan terhadap barang yang diekspor;
6. Barang modal berupa mesin asal impor apabila telah melampaui jangka waktu dua tahun sejak pengimporannya atau sejak menjadi aset perusahaan dapat dipindahtangankan dengan tanpa kewajiban membayar bea masuk yang terutang;
7. PDKB yang termasuk dalam Daftar Putih dapat mempertaruhkan jaminan berupa SSB kepada KPBC yang bersangkutan untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari PDKB yang dipersyaratkan untuk mempertaruhkan jaminan;
8. PDKB dapat mensubkontrakkan sebagian kegiatan pengolahannya kecuali pekerjaan pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, penyortiran dan pengepakan kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya;
9. Mesin/peralatan pabrik yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan pekerjaaan subkontrak dapat dipinjamkan oleh PDKB kepada PDKB lainnya atau sukkontrak di DPIL untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama dua kali 12 (dua belas) bulan;
10. Pengeluaran barang jadi berupa komponen (barang yang akan digabung dengan barang lain dalam perakitan untuk menghasilkan barang berderajat lebih tinggi dan sifat hakikinya berbeda dari produk semula) ke DPIL diperkenankan hingga sebesar 100 % dan untuk barang jadi lainnya sebesar 50 % dari nilai realisasi ekspor atau pengeluaran ke PDKB lainnya yang telah dilakukan.
Langganan:
Postingan (Atom)